Pelebaran defisit APBN membuat penarikan utang melebihi target, akibatnya ruang fiskal untuk kesejahteraan rakyat akan makin terbatas.

JAKARTA - Pembayaran cicilan dan bunga utang Indonesia dikhawatirkan bakal semakin menggerogoti penerimaan negara, seiring dengan melambungnya penarikan utang baru untuk menambal defisit anggaran yang melebar dari target sebesar 1,84 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Defisit APBN 2019 ditaksir melebar jadi 2,2 persen karena target penerimaan pajak kemungkinan tidak tercapai. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat hingga akhir November 2019, penerimaan pajak baru mencapai 72 persen atau sebesar 1.136 triliun rupiah, dari target senilai 1.577 triliun rupiah. Ini berarti masih kurang 441 triliun rupiah dari target.

Ekonom Indef, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan pelebaran defisit APBN akan menambah utang negara, di atas target yang ditetapkan, untuk menambal tambahan defisit tersebut. Akibatnya, ruang fiskal pemerintah Indonesia akan semakin terbatas ke depannya kalau utang kian menumpuk.

"Bila demikian, pemerintah akan kesulitan likuiditas. Kalau utang besar, kan pembiayaan ada dari dalam dan luar negeri. Kalau utang semakin banyak, bunga semakin besar. Ada jebakan likuiditas," papar Heri, di Jakarta, Jumat (13/12).

Apalagi, lanjut dia, penerimaan negara cenderung melambat dalam beberapa tahun terakhir. Jika terus seperti ini dan utang semakin bertambah, bisa saja penerimaan negara nantinya mayoritas hanya untuk bayar kewajiban utang.

Misalnya, penerimaan negara 2.500 triliun rupiah dalam satu tahun. Jika cicilan utang dan bunga 500 triliun rupiah, artinya pemerintah hanya punya dana 2.000 triliun rupiah untuk menggerakkan ekonomi negara dengan memberikan subsidi hingga membangun infrastruktur.

Jika penerimaan tetap, bahkan cenderung menurun, tetapi beban utang justru meningkat maka penerimaan negara yang bisa digunakan untuk pembangunan dan fasilitas kesejahateraan rakyat akan semakin berkurang.

Hingga akhir Oktober 2019, pemerintah tercatat sudah menarik utang 384,52 triliun rupiah, atau 107,03 persen dari target sepanjang tahun ini yang sebesar 359,25 triliun rupiah. Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah kembali meningkat, hingga Oktober 2019 mencapai 4.756.13 triliun rupiah.

Posisi Oktober lalu, defisit APBN pada angka 289,1 triliun rupiah atau 1,80 persen terhadap PDB. Apabila nanti defisit mencapai 2,2 persen, nilainya bisa mencapai 300 triliun rupiah. Artinya pemerintah harus menambah pembiayaan utang.

Jaga Defisit

Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, optimistis defisit APBN 2019 tidak akan melebar dari 2,2 persen, meskipun penerimaan pajak hingga kini masih 72 persen dari target.

"Kami tetap akan menjaga defisit ada di kisaran yang sudah disampaikan di 2,2 persen. Kami akan jaga di sekitar itu dan itu kami optimis," kata Menkeu, Jumat.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, mengemukakan penerimaan pajak memang tertekan sepanjang 2019. Penyebabnya berbagai macam, seperti perlambatan ekonomi global, harga komoditas yang cenderung turun, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan. "Kemudian pemanfaatan data yang agak lamban," ujar Yustinus.

Hal senada dikemukakan ekonom Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Fiscal Research, Bawono Kristiaji. "Menutup 2019, pajak penghasilan Indonesia hampir pasti jauh dari harapan. Ancaman resesi global khususnya pertumbuhan ekonomi negatif secara berulang di negara-negara yang ukuran ekonominya terhadap ekonomi global cukup besar bukan isapan jempol. Permintaan global yang menurun telah membuat negara yang berbasis ekspor kelimpungan," papar dia.

Menurut Bawono, pemerintah telat mengantisipasi gejolak ekonomi seperti anjloknya harga komoditas dan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Ini disebabkan pemerintah lebih banyak disibukkan oleh urusan pemilu dibandingkan memikirkan imbas gejolak global terhadap penerimaan pajak.

"Sayangnya, hal ini tidak direspons secara cepat pada semester I-2019. Faktor pemilu agaknya jadi alasan. Pemilu yang diadakan pada bulan April secara tidak langsung telah mengurangi ruang improvisasi pemerintah dalam pemungutan pajak," jelas dia.uyo/ers/WP

Baca Juga: