JAKARTA - Porsi pembiayaan bunga dan cicilan utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dinilai semakin membebani, sehingga berpotensi menjadi pemicu krisis ekonomi. Beban utang yang semakin berat itu membuat defisit keseimbangan primer kian melebar.

Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Didik J. Rachbini, dalam diskusi bertajuk Utang dan Pembiayaan Pandemi Covid-19, di Jakarta, Minggu (1/8), mengatakan krisis saat ini berbeda dengan krisis moneter pada 1998 yang dipicu oleh melemahnya nilai tukar. "Saat ini potensi krisis ekonomi itu karena beban berat APBN," ujar Didik.

Dia berharap agar pemerintah berupaya maksimal menjaga kondisi APBN, terutama selama pandemi karena defisit yang semakin melebar dan utang yang terus menumpuk.

"Masalah kian pelik ketika APBN digenjot utang dan defisit juga besar, tetapi dampak ke ekonomi tidak akan lebih besar daripada negara-negara lain yang dapat mengendalikan anggarannya," ungkap Didik.

Dalam APBN tahun ini, defisit anggaran dipatok 5,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau setara 1.006,4 triliun rupiah. Kalau tidak dikelola dengan baik, beban itu berpotensi membebani kinerja fiskal di tahun-tahun mendatang.

Sementara itu, Rektor Universitas Trilogi, Mudrajad Kuncoro, menyebutkan untuk membiayai anggaran dengan defisit sebesar itu, pemerintah mengalokasikan penarikan pinjaman sebesar 971 triliun rupiah. "Nyaris seluruh kebutuhan pembiayaan itu ditutup dengan utang," sebutnya.

Penarikan utang, jelas Mudrajad, tidak cuma digunakan untuk menutup kebutuhan pembiayaan anggaran, tetapi juga untuk pembiayaan investasi dan kewajiban penjaminan. Masing-masing 169.1 trilliun rupiah dan 2,7 trilliun rupiah.

Pada periode 2015-2020, terang dia, rata-rata pembayaran bunga utang tumbuh 16,69 persen. Rasio pembiayaan bunga utang terhadap PDB pun terus meningkat dari 1,35 persen pada 2015 menjadi 1,99 persen pada 2020.

Menurut laporan Bank Dunia pada 2021, Indonesia menempati posisi ketujuh sebagai negara pengutang terbesar di dunia. Hingga akhir Desember 2020, Indonesia tercatat memiliki utang sebesar 6.074,56 trilliun rupiah atau setara dengan 38,68 persen terhadap PDB.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa masalah utama APBN adalah tax ratio yang hanya 1 digit dan cenderung menurun, sementara belanja melebihi pendapatan negara. "Rasio beban utang atau Debt to Service Ratio (DSR) sudah di atas batas aman. Pemerintah harus benahi ini," tegas Mudrajad.

Jadi Warisan

Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Malang, Andy Fefta Wijaya, menegaskan politik utang yang berisiko akan menjadi warisan anak-cucu.

Utang bukan lagi merupakan investasi, tetapi sebagai beban ekonomi bahkan bisa berdampak ke krisis berkelanjutan.

Baca Juga: