» Warga miskin di AS terpaksa antre berjam-jam untuk sekadar mendapat makanan dan daging gratis.

» Kesenjangan mengiringi ekonomi Amerika yang kacau balau selama hampir tiga tahun pandemi.

JAKARTA - Pertimbangan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve untuk segera mengendalikan kenaikan harga karena beban inflasi yang dirasakan warga miskin di negara ekonomi terbesar dunia itu tidak proporsional.

The New York Times (NYT) dalam laporannya pada Jumat (25/11) seperti dikutip Antara dari Xinhua menyebutkan banyaknya rumah tangga (miskin) yang semakin terperosok ke dalam kerapuhan yang lebih besar lagi, dibanding kerapuhan tipikal sebelum pandemi.

Di Boston, Massachusetts, warga kaya check-in di Hotel Langham, dan reservasi sarapan siang (brunch) Thanksgiving seharga 135 dollar AS per satu paket orang dewasa di restoran hotel tersebut telah terjual habis beberapa pekan yang lalu.

Sementara itu, banyak keluarga mengantre di depan sebuah badan amal setempat sekitar pukul 04.30 demi mendapatkan makanan dan daging kalkun gratis. Antrean tersebut mereka lakukan empat jam lebih awal dari waktu pembukaan badan amal tersebut.

"Kekontrasan ini menggambarkan kesenjangan yang mengiringi ekonomi Amerika yang kacau balau selama hampir tiga tahun pandemi," kata laporan itu.

Banyak konsumen kaya masih memiliki tabungan yang berlimpah dan memiliki kondisi finansial yang baik, sehingga menyokong berbagai merek mewah dan membuat beberapa retailer kelas atas dan perusahaan perjalanan tetap optimistis dengan musim liburan tahun ini.

Pada saat yang sama, warga miskin Amerika kehabisan dukungan uang tunai, berjuang untuk mengikuti kenaikan harga, dan menghadapi lonjakan biaya pinjaman, jika mereka memakai kartu kredit atau pinjaman untuk memenuhi kebutuhan.

Pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan fenomena itu bisa diartikan kalau preferensi AS lebih pada pengendalian inflasi. "Walaupun inflasi di AS sudah turun menjadi sekitar 7,8 persen, namun masih jauh dari target sekitar 3 persen, sehingga the Fed masih akan menaikkan suku bunga, walaupun agresivitasnya berkurang.

Bagi Indonesia, fenomena tersebut akan mengancam terjadinya pelarian modal dari pasar keuangan (capital outflow) sehingga kurs rupiah semakin melemah. "Imbauan bahkan aturan yang kuat pada kondisi saat ini untuk meminta dollar AS hasil ekspor harus direpatriasi," kata Suhartoko.

Dengan demikian, devisa dari hasil ekspor harus masuk dalam rekening dalam negeri. "Selama ini banyak yang disimpan di luar negeri. Akibatnya, penawaran atau likuiditas dollar AS rendah," tegasnya.

Dihubungi terpisah, Ekonom Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan kondisi inflasi di AS akan memicu suku bunga the Fed naik secara agresif bahkan hingga tahun depan

Pemerintah perlu mempersiapkan aliran modal yang keluar terutama jika BI belum mampu mengimbangi naiknya suku bunga AS.

"Kita sudah melihat di pasar surat utang terjadi outflow secara kontinu," jelas Bhima.

Efek suku bunga the Fed yang naik tajam juga mendorong pelemahan kurs sehingga harga barang impor jadi lebih mahal. "BI dan pemerintah sebaiknya saling berkoordinasi meluncurkan paket kebijakan berisi bauran penguatan fundamental rupiah sekaligus pasar domestik," katanya.

Inflasi di AS jadi pertanda ekspor kinerjanya bakal turun sehingga pasar domestiknya menjadi kunci shock absorber di 2023.

Pemberdayaan Masyarakat

Guru Besar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, mengatakan perlu langkah yang tepat dalam menangani beban inflasi yang dialami oleh masyarakat. Bantuan yang disalurkan diharapkan lebih bersifat pemberdayaan rakyat miskin, agar mereka bisa bangkit.

"Sebaiknya bukan melulu bantuan yang sifatnya karitatif, tapi lebih yang memberdayakan," kata Bagong.

Bagi penerima bantuan, hendaknya masyarakat melakukan diversifikasi usaha dan tidak berpatokan pada pekerjaan pokok. Sebab, pekerjaan pokok gampang sekali terombang-ambing dengan regulasi yang ada.

"Itu mengapa perlu mengedukasi masyarakat, didorong untuk memperkuat penyanggah ekonomi keluarga. Bukan membesarkan ekonomi pokok karena kalau kolaps maka jatuhlah ekonomi keluarga itu," kata Bagong.

Baca Juga: