Pengelolaan utang lebih banyak dialokasikan untuk belanja rutin, bukan belanja modal sehingga perilaku tersebut harus dikurangi agar tak membebani generasi selanjutnya.
JAKARTA - Pemerintah dibayang-bayangi pembengkakan utang tahun depan karena dampak ugal-ugalan pemerintahan saat ini dalam berutang. Masalahnya, penumpukan utang tak sebanding dengan penerimaan negara seiring tax ratio terus turun.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menegaskan intinya pembengkakan utang terjadi pada periode 10 tahun terakhir. Bahayanya, lonjakan itu tak diimbangi oleh penerimaan negara dari sisi pajak.
Dia menambahkan pengelolaan utang lebih banyak dialokasikan untuk belanja rutin, bukan belanja modal. "Kondisi sekarang gali lubang tutup lubang. Hal ini harus dikurangi agar tidak membebani generasi selanjutnya," tegas Esther kepada Koran Jakarta, Minggu (25/8).
Esther memperingatkan pemerintahan baru ditengarai menambah utang baru. "Kalau sampai rasio utang meningkat 50-60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan tak diimbangi penerimaan negara, maka beban fiskal dan dampak perekonomian ke depan lebih sulit," ucapnya.
Kekhawatiran serupa soal utang juga diungkapkan sejumlah fraksi di DPR. Mereka mewanti-wanti pemerintah ihwal tingginya utang jatuh tempo senilai 800,3 triliun rupiah pada 2025 yang harus dilunasi presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto.
Peringatan tersebut disampaikan oleh Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), hingga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ketika sampaikan pandangan umum atas RAPBN 2025 beserta nota keuangannya dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, awal pekan lalu.
Perwakilan Fraksi PDIP, Adisatrya Suryo Sulisto, menjelaskan pihaknya memiliki banyak catatan atas RAPBN 2025 yang disusun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terutama soal defisit anggaran 2,53 persen atau setara 616 triliun rupiah dari PDB.
Untuk menutup defisit tersebut, sambungnya, pemerintahan Prabowo nantinya bertumpu pada pembiayaan utang. Karena itu, Adi mengingatkan pemerintah ke depan hati-hati memanfaatkan berbagai sumber pembiayaan.
PDIP, sambungnya, menganggap pembiayaan utang memiliki risiko untuk membebani fiskal APBN di masa mendatang. Apalagi utang jatuh tempo pada tahun depan tidak sedikit. "Pemerintah harus dapat mengantisipasi beban utang jatuh tempo pada 2025," ujar Adi.
Dalam kesempatan sama, Perwakilan Fraksi PKS, Netty Prasetiyani, menyatakan tingginya pangsa pembayaran beban utang tahun depan akan otomatis berdampak pengurang belanja alokasi belanja sosial dan produktif seperti subsidi, pembangunan infrastruktur, pendidikan, hingga kesehatan. "Fraksi PKS mengingatkan pemerintah nantinya cukup selektif dalam membuat kebijakan utang agar tidak menimbulkan beban bunga utang yang mempersempit ruang fiskal," jelas Netty.
Neraca Primer
Sementara itu, ekonom senior, Faisal Basri, mengungkapkan dalam Rancangan Anggaran dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pemerintah kembali menghadapi defisit keseimbangan primer (primary balance) sehingga memaksa negara terus berutang untuk membayar bunga utang.
Faisal mengatakan pengelolaan anggaran pemerintah tidak menunjukkan perubahan paradigma dari tahun ke tahun sehingga mengakibatkan beban bunga utang makin meningkat. Primary balance selalu merah, kecuali pada 2023.
Karena itu, untuk membayar utang, pemerintah harus berutang. "Membayar bunga utang harus memang berutang. Karena primary balance-nya minus," ujar Faisal dalam diskusi yang diadakan oleh Bright Institute bertema "Reviu RAPBN 2025 Ngegas Utang!" di Jakarta, baru-baru ini.
Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan keseimbangan primer merupakan indikator penilaian kemampuan pemerintah mengelola anggaran terutama dalam menyeimbangkan antara penerimaan dan pengeluaran.