» Debt to GDP ratio diperkirakan akan mencapai 41 persen pada 2021.

» Pemerintah harusnya melakukan efisiensi belanja guna menekan bertambahnya utang.

JAKARTA - Kebijakan pemerintah untuk menarik utang dalam membiayai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) semakin meningkatkan besaran stok utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau debt to GDP ratio yang diperkirakan akan mencapai kisaran 41 persen pada 2021 mendatang.

Pengamat ekonomi Adrian Panggabean dalam Economic Notes Kuartal III-2020 yang diterima di Jakarta, Rabu (14/10), mengatakan dengan beban pembayaran bunga di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai sekitar 12,5 persen dari total volume anggaran, maka komposisi APBN pasca-2020 menjadi sangat concentrated (pekat-red).

"Sekitar 85 persen dari anggaran belanja akan didominasi oleh hanya empat komponen, yaitu belanja pendidikan, Dana Alokasi Umum / Dana Alokasi Khusus, gaji pegawai (ASN/TNI/Polri), dan cicilan utang," kata Adrian yang juga Chief Economist CIMB Niaga.

Selain itu, belanja negara yang dibiayai dengan memperlebar defisit tahun ini lebih disasarkan untuk program pemulihan dan dukungan subsidi konsumsi rumah tangga, bukan belanja modal. Belanja pembangunan/modal yang ada pun malah mengalami pemotongan tajam sejalan dengan merosotnya penerimaan pajak dan rendahnya aktivitas ekonomi dan bisnis.

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya, Bambang Budiarto, mengatakan komposisi APBN pasca-2020 menjadi sangat "concentrated", sebagai konsekuensi logis pembangunan ekonomi dengan pembiayaan dari utang.

"Ini yang sepertinya terabaikan sejak menit-menit awal mendapatkan bantuan/utang dengan skema lunak, besaran cicilan diusahakan jangan lebih 30 persen dari GDP," kata Bambang.

Skala Prioritas

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, dalam kesempatan terpisah mengatakan besaran utang atas PDB bisa saja melebihi dari perkiraan karena kondisi perekonomian Indonesia yang belum 100 persen pulih dari pandemi Covid -19 sehingga menekan pendapatan negara.

"Beban bunga sangat membebani dan mengganggu ketahanan APBN, belum ditambah pokok utang yang harus di cicil juga, akan mempersulit pemerintah mencapai target," kata Badiul.

Lebih lanjut dikatakan, di tengah situasi dan kondisi perekonomian negara yang belum pulih, seharusnya pemerintah mengambil strategi efisiensi dan efektivitas belanja guna menekan terus bertambahnya utang yang akan menjadi beban di masa mendatang.

Kementerian Keuangan dalam kesempatan terpisah membantah laporan Bank Dunia yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-7 dari 10 negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan utang luar negeri terbesar.

Kemenkeu menilai utang Indonesia masih relatif kecil dibanding negara anggota G-20 yang lain karena pemerintah telah mengelolanya dengan hati-hati dan akuntabel. Laporan itu tidak menyertakan negara maju, melainkan negara kategori berpendapatan kecil dan menengah sehingga posisi Indonesia masuk dalam golongan 10 negara dengan ULN terbesar.

Di samping itu, struktur ULN Indonesia tetap didominasi pinjaman jangka panjang yang dengan pangsa 88,88 persen dari total ULN.

Pada paparan perbandingan Bank Dunia, utang Indonesia terhitung besar disbanding negara-negara lain karena ekonomi Indonesia masuk dalam kelompok negara G-20 pada urutan ke-16. "Dengan ekonomi yang besar maka utang pemerintah yang tanpa BUMN dan swasta masih relatif rendah yakni 29,8 persen pada Desember 2019," sebut Kemenkeu.

Mereka juga menyebutkan jika dilihat dari daftar 10 negara maka posisi Indonesia jauh di bawah negara lain yang sebagian besar utang pemerintahnya di atas 50 persen.

Negara-negara tersebut adalah Tiongkok 46,8 persen, Brazil 76,5 persen, India 68,3 persen, Rusia 13,5 persen, Mexico 46 persen, Turkey 30,4 persen, Indonesia 29,8 persen, Argentina 86 persen, Afrika Selatan 56,7 persen, dan Thailand 41,2 persen.

Merujuk pada publikasi bersama Kemenkeu dan BI, yaitu Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) maka utang luar negeri Indonesia terdiri dari ULN pemerintah pusat, BUMN dan swasta.

"Posisi ULN pemerintah pusat hingga Desember 2019 sebesar 199,88 miliar dollar AS atau 49 persen dari total ULN Indonesia. Data ULN dalam SULNI tidak hanya terdiri dari ULN pemerintah namun termasuk data ULN BI, BUMN, dan swasta," tulis Kemenkeu. n ers/SB/uyo/E-9

Baca Juga: