» Overhang utang risikonya cukup besar karena bukan lagi leverage, tapi membebani perekonomian.

» Selamatkan sektor yang banyak pekerja bergantung di sana seperti UMKM.

JAKARTA - Optimisme pemerintah yang mencanangkan pertumbuhan ekonomi 2022 berpotensi berada di kisaran 5-5,5 persen dinilai kurang sesuai dengan kondisi yang ada. Sebab, pertumbuhan masih mengandalkan belanja pemerintah, sementara pada tahun depan pembayaran beban bunga meningkat.

Dalam struktur belanja yang sedang dibahas di DPR menunjukkan kewajiban pemerintah untuk membayar bunga utang sebesar 405,87 triliun rupiah atau naik 10,8 persen dibanding tahun ini sebesar 366,2 triliun rupiah. Pembayaran tersebut terdiri dari bunga utang dalam negeri sebesar 393,7 triliun rupiah dan bunga utang luar negeri sebesar 12,2 triliun rupiah.

Direktur Center of Economic and Lawa Studies (Celios), Bhima Yudisthira, di Jakarta, Selasa (24/8), mengatakan pembayaran bunga utang yang makin berat akan menghambat pemulihan ekonomi. Porsi bunga utang berarti sudah menyedot 21 persen dari total belanja pemerintah pusat di 2022.

"Bagaimana pemerintah mau dorong Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ketika bunga utangnya melebihi alokasi PEN 2022 yaitu 321 triliun. Overhang utang risikonya cukup besar yakni utang bukan lagi leverage, tapi masuk kategori beban ke perekonomian," kata Bhima.

Kondisi tersebut makin parah karena di sektor keuangan terjadi perebutan dana seiring dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) denominasi rupiah yang menyasar investor domestik. Pemilik dana akan memilih menempatkan investasiny di SBN dengan imbal hasil 6,8 persen, ketimbang deposito di bank hanya 5 persen per tahun.

"Rebutan dana akan berakhir dengan kesulitan bank menyalurkan kredit. Bank bisa ikut-ikutan malas karena kredit masih berisiko tinggi, sehingga mereka mengalihkan dana likuiditas ke SBN. Ini tidak sehat bagi ekonomi yang butuh supply likuiditas," kata Bhima.

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5-5,5 persen tersebut, diperlukan perbaikan pada sektor pertanian yang diharapkan dapat mendorong konsumsi rumah tangga.

"Memang banyak sektor pada Q2 tumbuh lumayan, tapi kontribusinya kecil-kecil. Sedangkan pertanian yang kontribusinya lumayan 14,27 persen, sayangnya hanya tumbuh 0,38 persen. Ini harus didorong lebih agar meningkatkan kontribusi konsumsi rumah tangga yang 55 persen lebih. Karena peran pemerintah hanya 9 persen dan ekspor impor hanya sekitar 1 persen. Kalau impor bisa kita tekan maka akan bisa juga membantu," kata Wibisono.

Kurang Realistis

Dihubungi terpisah, Pengamat Ekonomi dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Ike Janita Dewi, mengatakan optimisme pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5-5,5 persen pada 2022 kurang realistis. Sebab tanpa dukungan sektor konsumsi rumah tangga yang didominasi oleh spending dari pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sangat berat untuk mencapai pertumbuhan setinggi itu.

Apalagi hasil survei Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan sektor UMKM hanya memiliki modal untuk bertahan hidup 3-6 bulan lagi. Padahal, sampai hari ini belum tampak jelas strategi pemerintah untuk mengatasi hal itu secara komprehensif.

"Sebenarnya BPUM juga sudah disediakan di tahun 2020-2021. Tetapi, mekanisme dan tata penyalurannya masih banyak kendala. Beberapa persyaratan dan jumlahnya yang relatif kecil belum mampu mengatasi kekurangan modal kerja," kata Ike.

Pemerintah, jelasnya, mesti punya terobosan untuk menyelamatkan sektor yang sebagian besar pekerja nasional masih bergantung di sana.

"Pembiayaan melalui kredit murah mesti tepat sasaran. UMKM ini tulang punggung ekonomi nasional, apalagi di saat pandemi begini, mereka terjepit oleh aneka pembatasan sekaligus punya peluang untuk bangkit kalau pemerintah mau cari solusi strategis," kata Ike.

Salah satu solusi tersebut adalah terkait penyaluran kredit yang benar-benar tepat sasaran. Dengan bantuan teknologi, pemerintah seharusnya bisa mengerjakannya bersama perbankan

Baca Juga: