Data BPS menunjukkan importasi pakaian bekas kurang dari satu persen dari impor pakaian jadi dari Tiongkok.

JAKARTA - Langkah pemerintah memusnahkan pakaian bekas impor dinilai sia-sia karena tak memberi pengaruh signifikan dalam melindungi pasar domestik. Masalah terbesar sebenarnya gelombang importasi pakaian jadi secara besar-besaran asal Tiongkok ke pasar RI.

Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan pemerintah semestinya lebih memperhatikan aktivitas impor tekstil. "Karena bukan hanya banjir impor tekstil, tetapi tsunami impor. Seharusnya impor produk jadi tekstil dibatasi," tegas Esther di Jakarta, Senin (20/3), menanggapi pemusnahan pakaian bekas impor oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Esther menegaskan hingga kini tak ada aturan jelas soal pembatasan impor produk tekstil. Dia mencontohkan pada 2019 memang pernah ada regulasi safe guard. Sayangnya, langkah itu bersifat sementara atau tidak permanen.

Kendala produk lokal tidak bersaing karena harga mahal. Karena itu, dia menyarankan agar impor bahan baku tekstil dipermudah dan diberi subsidi impor. "Seperti benang misalnya harus disubidi agar pengusaha tekstil kita bisa produksi produk jadi tekstil lebih murah," paparnya.

Dia berpandangan pemerintah harus serius menangani persoalan itu. Sebab, pengusaha sektor tersebut mengeluhkan, selama ini harga pakaian impor jauh lebih murah ketimbang harga benang impor. "Jadi harga baju Made in Indonesia gak kompetitif di pasar domestik, kalah dengan baju Made in China yang super murah," ujarnya.

Anggota Komisi VII DPR RI, Adian Napitupulu, tak sepakat apabila pakaian bekas impor mematikan produk UMKM seperti yang dinarasikan Kemendag. Menurutnya, yang mematikan UMKM importasi pakaian jadi asal Tiongkok.

Menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia, impor pakaian jadi dari Tiongkok menguasai 80 persen pasar Indonesia. Dia mencontohkan pada 2019, impor pakaian jadi dari Tiongkok mencapai 64.660 ton. Sementara menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pakaian bekas impor pada tahun sama hanya 417 ton atau tidak sampai 0,6 persen dari impor pakaian jadi dari Tiongkok.

Struktur Pasar

Pada 2020, impor pakaian jadi dari Tiongkok sebesar 51.790 ton, sementara pakaian bekas impor hanya 66 ton atau 0,13 persen dari impor pakaian dari Tiongkok. Pada 2021 impor pakaian jadi dari Tiongkok 57.110 ton, sementara impor pakaian bekas sebesar hanya 8 ton atau 0,01 persen dari impor pakaian jadi dari Tiongkok.

"Jika impor pakaian jadi dari negara Tiongkok mencapai 80 persen, lalu pakaian jadi impor Bangladesh, India, Vietnam, dan beberapa negara lain sekitar 15 persen maka sisa ruang pasar bagi produk dalam negeri cuma tersisa maksimal 5 persen itupun sudah diperebutkan antara perusahaan besar seperti Sritex, ribuan UMKM dan pakaian bekas impor," papar Adian

Dari 417 ton impor pakaian bekas itu pun tidak semuanya bisa di jual ke konsumen karena ada yang tidak layak jual. Rata rata yang bisa terjual hanya sekitar 25 persen hingga 30 persen saja atau dikisaran 100 ton saja.

"Dari seluruh angka di atas maka sesungguhnya UMKM kita dibunuh siapa? Mungkin urut urutannya seperti ini. UMKM 80 persen di bunuh pakaian jadi impor dari Tiongkok, sementara pakaian jadi impor Tiongkok saat ini tidak dibunuh, tapi sedang di gerogoti oleh pakaian bekas impor," tegas Adian.

Sementara itu, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, kembali memimpin pemusnahan pakaian bekas asal impor. Kali ini, sebanyak 824 bal senilai 10 miliar rupiah pakaian bekas asal impor dimusnahkan di Komplek Pergudangan Jaya Park, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (20/3).

Pemusnahan itu merupakan tindaklanjut temuan hasil pengawasan oleh Kementerian Perdagangan di wilayah Jawa Timur. "Ini merupakan komitmen Kemendag dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perdagangan, perlindungan konsumen, serta industri tekstil dalam negeri," tegas Mendag dikutip dari keterangan resminya, Senin (20/3).

Baca Juga: