Merdeka bagi warga DKI Jakarta adalah terbebas dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan.

JAKARTA - Proklamasi kemerdekaan Indonesia 72 tahun yang lalu, merupakan tonggak sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Haru biru seluruh masyarakat seantero nusantara, menandai perubahan bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka.

Kemerdekaan bukanlah suatu akhir perjuangan, tetapi kemerdekaan Indonesia menjadi awal bagi perjuangan untuk memerdekakan, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat yang harus segera diwujudkan.

Lalu apa makna kemerdekaan bagi korban penggusuran? Makna kemerdekaan hanyalah sebatas kata merdeka. Mirisnya, para korban penggusuran tersebut justru merasa masih terjajah oleh bangsa sendiri.

Bagi mereka, merdeka adalah bebas dari belenggu kemiskinan dan kemelaratan yang bertahun-tahun hinggap dalam kehidupan. Diharapkan, pemerintah dapat menyediakan fasilitas dalam merangsang masyarakat untuk melakukan usaha-usaha yang bisa membuat masyarakat keluar dari kemiskinan tersebut, bukan semakin memperburuk keadaan dengan menggusur rumah yang jauh dari lokasi mata pencaharian.

"Kita banyak yang pekerjaannya serabutan, buat makan sehari-hari aja belum tentu cukup apalagi bayar uang sewa rusun," ungkap salah satu penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Marunda, Jakarta Utara, yang juga korban penggusuran, Warni, 49 Tahun.

Melihat kondisi Indonesia terutama DKI Jakarta yang seperti itu, nampaknya tujuan kemerdekaan masih jauh dari harapan. Pasalnya permasalahan kemiskinan masih tinggi sedangkan peluang lapangan kerja sangat minim, sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di Ibu Kota

Merasa belum cukup merdeka dan masih di jajah juga dirasakan oleh penghuni rusun lainnya, Faisal, 38 tahun. Senada dengan Warni, pria yang bekerja sebagai supir itu meminta agar pemerintah lebih memperhatikan dan mempertimbangkan lagi nasib warga korban gusuran yang kini tinggal di rusunawa.

Hidup di bawah bayang bayang kemiskinan juga dialami Amad, 50 tahun, warga Petukangan, Pesanggrahan, Jakarat Selatan. Dia tinggal di gubuk yang terbuat dari material bekas itu, merupakan pemberian salah satu warga di Petukangan Selatan, Pesanggarahan, Jakarta Selatan.

Rumah seukuran kurang lebih 20 meter persegi itu, dia tempati untuk tinggal dan berjualan seadanya. Letaknya, tak jauh dari SD Negeri Petukangan Selatan. Tepatnya di belakang komplek perumahan Sangrila Indah.

Sudah puluhan tahun dia menempati rumah itu. Hanya saja, dulu dia menempati rumah semi permanen di atas tanah milik Pemprov DKI Jakarta, tepat di pinggir anak kali Pesanggrahan. Namun, sejak 4 tahun lalu tidak boleh ditempati. Alhasil, nasib Amad pun terkatung-katung.

"Diakui suami Jamila, 55 tahun ini, hidup di Ibu Kota semakin susah dari tahun ke tahun. Meski dia warga Betawi asli, dia tak seberuntung pendatang yang hidup di apartemen dan rumah mewah. Hidupnya yang serba pas-pasan harus bisa bersaing di Ibu Kota.

Bekerja Keras

Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat meminta agar masyarakat mau bekerja lebih keras. Pasalnya, masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan meski Indonesia telah merdeka selama 72 tahun.

"Pekerjaan belum selesai, pekerjaan masih banyak, selama masih ada saudara-saudara kita yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan, saudara-saudara kita yang masih tinggal di tempat-tempat tak layak, saya sampaikan bahwa perjuangan belum selesai," ujar Djarot.pin/nis/P-5

Baca Juga: