Perlu upaya kolektif dari berbagai elemen masyarakat untuk mendorong jumlah wakil perempuan sesuai dengan amanat undang-undang di lembaga penyelenggara pemilu.

JAKARTA - Jumlah perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu masih sedikit. Hal ini tidak terlepas dari berbagai hambatan yang dialami perempuan. Pernyataan tersebut disampaikan Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Aditya Perdana, di Jakarta, Rabu (29/9).

Hambatan tersebut antara lain faktor keterbatasan informasi mengenai mekanisme proses seleksi, lingkungan politik yang tidak sensitif gender, hingga hambatan yang bersifat sosial kultural."Apabila kita ingin menghadirkan Pemilu 2024 yang inklusif bagi semua kelompok, maka struktur penyelenggara pemilu perlu memperhatikan kesetaraan gender," kata Aditya.

Dia mengatakan, untuk mencapainya, salah satu titik krusialnya tentu pembentukan tim seleksi yang harus memasukkan perwakilan perempuan dan memiliki perspektif gender kuat. Tim seleksi juga dapat memberi porsi perhatian serius dalam menjaga jumlah wakil perempuan yang memadai.

Selain itu, perlu juga komitmen anggota DPR dalam memberi kebijakan yang tentu berpihak kepada keterwakilan perempuan. "Harapannya, jumlah komisioner perempuan yang dipilih Komisi II DPR nanti bisa lebih banyak dibanding periode sebelumnya," katanya.

Untuk itu, katanya, perlu adanya upaya secara kolektif dari berbagai elemen masyarakat untuk mendorong jumlah wakil perempuan yang sesuai dengan amanat undang-undang di lembaga penyelenggara pemilu. Hal itu penting guna memastikan terciptanya kebijakan-kebijakan prosedural pemilu yang ramah perempuan.

FISIP UI didukung Department of Foreign Affairs and Trade Australia serta mitra pelaksananya International Foundation for Electoral Systems sedang melaksanakan program "Perempuan Memimpin 2021." Tujuan utama program mau meningkatkan jumlah wakil perempuan di lembaga-lembaga penyelenggara pemilu. Peserta program dilatih mengikuti proses seleksi penyelenggara pemilu.

Harapannya, lanjut Aditya, program tersebut dapat mendorong kandidat perempuan ikut serta dalam proses seleksi, sehingga 30 persen wakil perempuan dalam struktur penyelenggara pemilu dapat tercapai. Program ini pernah dilakukan pada tahun 2016. Dua lulusan program terpilih sebagai komisioner KPU, Evi Novida Ginting, dan Ratna Dewi Pettalolo (Bawaslu). Sebagian alumni lain tersebar sebagai penyelenggara pemilu tingkat lokal.

Komprehensif

Sementara itu, terkait jadwal pemilu, anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, minta pemerintah mengkaji lebih komprehensif. Pemerintah telah mengusulkan pelaksanaan pemilu pada 15 Mei 2024. "Saya akan mendukung usul pemerintah bila pertimbangannya logis dan tidak berhimpitan dengan tahapan pilkada," kata Guspardi.

Dia menjelaskan, Komisi II bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu segera bertemu untuk membahas. "Fraksi-fraksi DPR tetap bisa mengusulkan jadwal dengan argumentasi kuat," ujarnya. Guspardi menambahkan, jika pemilu diselenggarakan 15 Mei 2024, tahapannya menjadi kurang dari 20 bulan. Padahal UU menyatakan, KPU mempunyai waktu paling lambat 20 bulan untuk mempersiapkan tahapan dan pelaksanaan.

Kalau tahapan menjadi pendek harus dikeluarkan aturan yang bisa mengakomodasi sepertiPerppu. "Sebab andai merevisi UU, prosesnya akan panjang," katanya. Maka, Komisi II segera mengadakan konsinyering bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk membahas secara cermat. Hal ini terutama terkait tahapan dan jadwal pilkadaserentak, sebelum reses.

Baca Juga: