» Tolak impor beras karena pasti akan menekan harga di tingkat petani.

» Masa panen mundur di sekitar April-Mei, sehingga memerlukan stok yang lebih banyak.

JAKARTA - Upaya pemerintah menstabilkan harga pangan dengan menyalurkan beras dalam dua tahap kepada 21,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) pada 2023, ternyata belum mampu menurunkan harga. Penyaluran bantuan tersebut hanya mampu menahan laju kenaikan harga (inflasi) pangan agar tidak naik lebih tinggi.

Hal itu diakui Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, dalam konferensi persnya di Jakarta, Kamis (11/1).

"Harus diakui, bantuan pangan dan Stabilisasi Pasokan Harga Pasar (SPHP) belum berhasil menurunkan harga, tapi berhasil menurunkan inflasi. Harga berasnya masih relatif tinggi. Artinya, harga beras itu stabil, tapi relatif tinggi," kata Bayu.

Menurut Bayu, belum turunnya harga lantaran produksi padi yang memang menurun pada 2023 dibandingkan 2022. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 terdapat surplus sekitar satu juta ton beras, sedangkan pada 2023 hanya surplus sekitar 300 ribu ton.

"Mengapa belum berhasil menurunkan harga karena memang kondisi produksi situasinya masih berat, bahkan berlanjut sampai dengan saat ini," katanya.

Bulog, jelasnya, telah menyalurkan beras SPHP sebanyak 1,2 juta ton sepanjang tahun guna menekan harga beras di masyarakat. Beras SPHP dijual di tingkat komersil dengan harga cukup murah dibandingkan beras sejenisnya.

"Kuncinya masih tetap harus diproduksi. Kuncinya itu. Tambahan dari impor yang dua juta ton atau mungkin bisa lebih dari itu, hanya bisa menjaga saja," katanya.

Bayu mengatakan penyaluran bantuan pangan tahap I yang dimulai pada Maret hingga Mei 2023 dan berlanjut pada September hingga Desember 2023, memang bertujuan untuk menjaga inflasi.

"Kita melihat pada bulan Februari ini pada 2023 sebelum bantuan pangan itu inflasi beras 2,63 persen. Setelah bantuan pangan maka inflasi beras turun menjadi 0,7 persen pada Maret 2023, lalu turun lagi menjadi 0,55 persen pada April dan bahkan pada Mei hanya 0,02 persen," katanya.

Sedangkan bantuan pangan beras tahap II yang disalurkan dari September sampai dengan Desember 2023, juga mampu menjaga laju kenaikan harga beras di akhir tahun yang biasanya naik tinggi. Hal itu terlihat dari inflasi beras yang menurun cukup signifikan dari 5,61 persen pada September 2023 menjadi 0,43 persen pada Desember 2023.

"Dengan penambahan jumlah KPM bantuan pangan beras pada 2024 menjadi 22 juta dari sebelumnya 21,3 juta KPM, jika diasumsikan setiap keluarga rata-rata terdiri empat orang maka sudah 88 juta rakyat Indonesia yang merasakan manfaat dari program bantuan pangan ini," tambahnya.

Masa Panen Mundur

Menanggapi situasi tersebut, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan kondisi iklim dengan hujan belum turun merata di semua wilayah menyebabkan masa tanam sebagian petani relatif mundur.

"Seharusnya akhir Desember sudah bisa tanam kalau hujannya sudah rutin, tetapi karena kekeringan yang berkepanjangan maka masa tanam mundur, sedangkan stok yang ada di pemerintah semakin berkurang sehingga tidak bisa memenuhi permintaan.

"Meski bantuan pangan beras sudah mengalir, harga beras di pasar tetap tinggi," kata Dwijono.

Dia memperkirakan masa panen juga mundur di sekitar April-Mei sehingga memerlukan stok yang lebih banyak lagi. Sementara itu, negara-negara yang biasa mengekspor beras ke Indonesia seperti India dan Thailand justru melakukan pembatasan.

"Jika hujan masih seperti ini, ada kemungkinan kekurangan stok bisa berlanjut minimal sampai Maret. Harga beras sulit turun minimal sampai Maret," kata Dwijono.

Tolak Impor

Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan dengan program ini, semestinya Bulog bisa menjalankan perannya untuk menjaga kestabilan harga, dan memastikan penyerapan hasil panen petani karena sudah ada program untuk pendistribusian berasnya.

Terkait dengan wacana impor, dengan alasan kurangnya cadangan beras pemerintah ini ada hubungannya juga dengan harga pembelian pemerintah (HPP) tahun lalu yang ditetapkan di bawah harga pasar.

"SPI menolak impor beras karena dengan rencana impor pasti akan menekan harga di tingkat petani. Bahkan, baru sebatas rencana saja, belum realisasi, sudah bisa menekan harga di tingkat petani," tegas Qomar.

Dia memandang dengan optimalisasi penyerapan hasil panen petani, pemerintah akan punya kemampuan untuk melakukan stabilisasi harga.

Baca Juga: