Dalam tata niaga beras tersentral seperti saat ini, peran pemerintah dalam kontrol harga dengan buka tutup kran impor berbasis kuota, bahkan saat panen raya, seringkali memojokkan posisi petani sebagai produsen.

JAKARTA - Program bantuan sosial (bansos) berupa beras dinilai tak akan menyelesaikan permasalahan kerawanan pangan.

Karena itu, optimalisasi konsep pangan lokal atau local food menjadi solusi tepat untuk mengatasinya.

Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, menilai konsep kerawanan pangan akibat kemiskinan ekstrem lebih disebabkan kebergantungan terhadap komoditas beras.

Kerawanan pangan rentan di berbagai daerah yang defisit beras, bukan penghasil, khususnya kawasan Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara (NTT), Maluku, Papua, dan sebagian area Kalimantan.

Di sisi lain, lanjutnya, penduduk di wilayah Sumatera- Jawa dan Sulawesi mempunyai stok beras cukup berlimpah dan risiko kerawanan pangan tak tampak serius, terlebih lagi dengan sistem distribusi yang cukup masif.

"Kelompok paling miskin akan membeli beras untuk kebutuhan reguler harian, pendapatannya yang minim tidak memungkinkannya untuk membeli skala bulanan, maka mereka akan membeli dalam kondisi fluktuasi harga, termasuk saat harga tinggi atau bahkan ketika stok langka seperti awal tahun ini, mereka kehilangan akses terhadap beras," tegas Hafidz kepada Koran Jakarta, Selasa (18/6).

Di luar 10 persen masyarakat termiskin, lanjutnya, pembenahan tata niaga beras lebih inklusif perlu dilakukan.

Dia mencontohkan Tiongkok memberikan subsidi dengan konsep local food.

Dalam konsep ini, beras yang didistribusikan untuk masyarakat di radius kurang dari 100 kilometer (km) mendapatkan subsidi.

Hal itu menjadi insentif bagi produsen, khususnya petani, untuk mengembangkan produk beras lokalnya masing- masing yang dapat mendorong swasembada.

"Saat ini, tata niaga beras (di Indonesia) tersentral.

Meskipun banyak pelaku usahanya, tetapi kebijakannya tunggal dan peran pemerintah dalam kontrol harga dengan buka tutup kran impor berbasis kuota sering kali memojokan posisi petani bahkan kran impor sering dibuka justru menjelang panen raya di beberapa daerah sehingga harga jual gabah di tingkat petani jatuh," jelasnya.

Sebaliknya, para distributor besar diuntungkan karena mereka memiliki fleksibilitas antara mendistribusikan beras lokal ataupun mengakses beras impor yang lebih murah.

"Local food akan menjadi solusi, terlebih jika pemerintah serius merevitalisasi peran Koperasi Unit Desa yang diarahkan untuk memperkuat sistem produksi dan distribusi produksi pertanian, khususnya beras maka akan sangat mungkin kita keluar dari dilema krisis pangan bersamaan dengan kesejahteraan petani yang meningkat," ungkap Hafidz.

Senada, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta YB Suhartoko mengatakan pemberian bantuan pangan kepada keluarga rawan pangan dalam jangka sangat pendek memang akan mempercepat penghapusan kemiskinan ekstrem.

Namun, kebijakan itu bisa berdampak sementara, apabila tidak dicari akar masalahnya.

Menurutnya, penyebab kemiskinan ekstrem bukan sekedar pendapatan saja, tetapi akses pasar, biaya yang tinggi mencapai tempat kerja, jumlah tanggungan keluarga, lingkungan yang tidak sehat, ketrampilan yang dimiliki dan berbagai variabel lain.

"Karena itu pendekatan terhadap kelompok rawan pangan jangan sekedar karitatif saja yang juga menimbulkan risiko ketergantungan masyarakat kepada pemerintah.

Keluarga rawan pangan perlu ditingkatkan menjadi keluarga yang mandiri," tegas Suhartoko.

Peran pemerintah dalam hal ini menurutnya lebih pada fasilitator, pendampingan dan konsultasi.

"Kelembagaan masyarakat yang bersifat gotong royong perlu didorong untuk menjadi katalisator perubahan masyarakat," ucapnya.

Gencarkan Intervensi

Seperti diketahui, Badan Pangan Nasional (Bapanas) terus berupaya mengentaskan kemiskinan ekstrem di seluruh Indonesia dengan menggencarkan intervensi pengendalian kerawanan pangan kepada keluarga rentan.

"Intervensi pengendalian kerawanan pangan dilakukan melalui penyaluran bantuan pangan kepada keluarga rawan pangan, yaitu kelompok pengeluaran 10 persen terbawah/ desil 1 sebagai sasaran dari upaya percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem," kata Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, dalam keterangan di Jakarta, Sabtu pekan lalu.

Arief menyampaikan Bapanas mendukung upaya percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem pada 2024 melalui kegiatan intervensi pengendalian kerawanan pangan yang diharapkan dapat mendorong pengentasan kemiskinan ekstrem menuju 0 persen.

Baca Juga: