» Jumlah bantuan yang disalurkan belum cukup mengangkat daya beli masyarakat.

» Masyarakat disasar bansos hanya sebagian 40 persen berpenghasilan paling bawah.

JAKARTA- Terjadinya penurunan harga atau deflasi dua bulan berturut-turut menjadi pertanda masih terganggunya daya beli masyarakat, sehingga harus segera ditopang dengan mengevaluasi program-program sosial yang sudah dijalankan pemerintah terutama dalam menahan dampak Covid-19.

Data Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati hingga 4 Agustus 2020, program bantuan sosial yang tersalur dalam rangka penanganan dampak Covid-19 mencapai 85,34 triliun rupiah. Bantuan sosial itu antara lain tersalur dalam bentuk bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) kepada 40 juta orang pada kelompok miskin hingga tidak mampu. Kemudian, juga mengalir ke 80 juta orang untuk program kartu sembako, penerima bansos tunai 40 juta orang dan 24 juta orang untuk bantuan langsung tunai desa.

Sementara bantuan sosial dalam bentuk diskon listrik, telah diterima oleh 27 juta rumah tangga, khusunya kelompok pelanggan rumah tangga dengan daya 450 watt. Selain itu bantuan sosial diskon listrik juga dinikmati oleh sebanyak 7 juta rumah tangga untuk kelompok pelanggan PLN dengan daya 900 watt subsidi.

Belum efektifnya bantuan sosial tersebut sebagai bantalan untuk menopang konsumsi yang tergerus menurut Pengajar dari Universitas Gadjah Mada, Bhima Yudhistira karena jumlah bantuan yang disalurkan belum cukup mengangkat daya beli masyarakat, sehingga perlu perluasan bantuan agar lebih efektif menggairahkan ekonomi kalangan bawah.

Selain itu, jelas Bhima mekanisme penyalurannya bisa ditingkatkan melalui pemberian cash transfer atau bantuan langsung tunai (BLT) kepada pekerja informal dan korban pemutusan hubungan kerja yang sebelumnya tidak mendapatkan program bantuan Pemerintah.

"Besaran ideal adalah 1,2 juta rupiah per orang selama 6-8 bulan dengan asumsi per pekerja informal seperti karyawan warung atau pekerja harian lepas menanggung dua orang anggota keluarga," papar Bhima di Jakarta, Kamis (3/9).

Sejauh ini, tambahnya bantuan sosial (Bansos) hanya menyasar sebagian kelompok 40 persen pengeluaran terbawah. Kontribusi kelompok tersebut dari total pengeluaran hanya 17,7 persen menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2020. "Jadi belum cukup, jelas tidak berdampak ke laju konsumsi secara nasional. Maka dari itu pemerintah harus terus perluas sasaran Bansos ke kelas menengah rentan miskin yang jumlahnya 115 juta orang," tegas Bhima.

Belum Pulih

Kepala BPS Suhariyanto dalam rilis bulanannya mengatakan tren pelemahan daya beli masyarakat sedang terjadi yang ditandai dengan deflasi selama dua bulan berturut-turut. Pada Juli, BPS melaporkan terjadi deflasi (penurunan harga) 0,10 persen dan pada Agustus 0,05 persen.

"Sekarang ini trennya hampir sama, terjadi pelemahan daya beli. Semua mengalami perlambatan dan deflasi," kata Suhariyanto.

Dia mengatakan penyebab utamanya pandemi Covid-19 yang menekan pendapatan masyarakat dan mengurangi permintaan atas barang konsumsi seperti harga kebutuhan pangan dan tarif angkutan udara. Lesunya daya beli itu juga tercermin dari inflasi inti dari tahun ke tahun (yoy) yang saat ini tercatat 2,03 persen atau lebih rendah dari rata-rata sebelumnya.

"Kalau dari harga barang bergejolak yang deflasi, supply itu mencukupi. Tapi dari pergerakan inflasi inti hanya 2,03 persen, ini menunjukkan daya beli masyarakat belum pulih," kata Suhariyanto.

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan mengatakan, agar terhindar dari jurang resesi, pemerintah harus mengelola konsumsi rumah tangga dengan memaksimalkan program-program stimulus.

"Kalau pemerintah bisa mengelola konsumsi rumah tangga selama pandemi, sebetulnya kita masih bisa tumbuh positif," kata Abdul

Dia menyayangkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang belum berjalan optimal, sehingga daya dobraknya terhadap perekonomian belum maksimal. n ers/E-9

Baca Juga: