JAKARTA - Perbankan syariah Indonesia harus mampu menerima perubahan dan inovasi untuk berkembang di lingkungan pasar yang sangat dinamis. Karenanya, industri perbankan syariah perlu mempertimbangkan konsolidasi, spesialisasi, pendanaan, model operasional baru dan digitalisasi.

Hal itu sebagaimana diungkapkan Konsultan manajemen global Kearney dalam studinya bertajuk Navigating The Syariah Banking Transformation yang belum lama ini dirilis. "Perbankan syariah Indonesia menerima perubahan dan inovasi untuk berkembang di lingkungan pasar yang terus berubah. Dengan beradaptasi secara strategis terhadap reformasi regulasi, mengeksplorasi spesialisasi, dan memprioritaskan kebutuhan nasabah, bank-bank syariah siap memimpin transformasi sektor perbankan Indonesia," kata Presiden Direktur dan Partner Kearney Indonesia, Shirley Santoso dalam keterangannya di Jakarta, Senin (3/6).

Shirley menilai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah (UUS) membawa perubahan regulasi yang signifikan bagi perbankan syariah, termasuk persyaratan modal minimum dan mandat untuk pemisahan (spin-off) untuk UUS. Dalam aturan itu, UUS dengan aset lebih dari 50 triliun rupiah atau dari total nilai aset bank umum konvensional (BUK) induknya wajib melakukan spin-off atau mendirikan perusahaan tersendiri dalam waktu dua tahun.

Penilaian Ulang

Kerangka regulasi ini, ditambah dengan merger penting seperti pembentukan Bank Syariah Indonesia (BSI), mendorong konsolidasi dan restrukturisasi dalam industri tersebut, sehingga membutuhkan penilaian ulang yang strategis di antara para pelaku pasar.

Merujuk pada regulasi tersebut, jelas Shirley, bank-bank kini perlu memutuskan di sisi mana mereka ingin melakukan konsolidasi perbankan syariah termasuk dengan jalan mengakuisisi, mempertahankan bisnis dengan memenuhi persyaratan permodalan, atau menjual portofolio ke salah satu konsolidator yang sedang berkembang.

Shirley mengingatkan setiap pilihan tersebut harus dievaluasi secara menyeluruh oleh bank syariah termasuk mempertimbangkan konsekuensi bagi perusahaan, merek atau brand dan sumber daya manusia di dalamnya.

Baca Juga: