» Kredit lebih banyak disalurkan ke sektor konsumtif seperti kredit properti dan untuk membiayai modal kerja impor pangan.

» Pemerintah jangan mengulang kesalahan, menalangi (bailout) perbankan seperti BLBI yang telah menyebabkan ketahanan ekonomi runtuh.

JAKARTA - Bank-bank diminta tidak berlindung di balik pandemi sebagai penyebab melonjaknya kredit macet. Kredit macet sebenarnya dipicu oleh salah kelola bank karena manajemen yang lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor konsumtif, seperti kredit properti (KPR), kredit kepemilikan mobil dan motor (KPM), dan pembiayaan untuk impor.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, yang diminta pendapatnya mengatakan fungsi intermediasi perbankan yang menyebabkan bubble (gelembung) harga properti dan impor telah mematikan ketahanan ekonomi Indonesia.

"Kredit malah dimanfaatkan untuk membiayai impor pangan sebagai modal kerja, sedangkan pertanian dalam negeri diabaikan. Ini kesalahan manajemen yang diulang, karena "perkoncoan". Bubble properti sudah mencapai 1.000 triliun, ini yang mematikan," kata Badiul.

Bank, katanya, jangan lagi membohongi publik dengan menyatakan pandemi sebagai penyebab kredit macet, tapi pendanaan mereka terus ke konsumtif yaitu properti, kredit motor, dan mobil.

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kerap disebut-sebut sebagai penerima kredit, padahal yang mereka sebutkan "bodong" semua.

Dalam praktik penyalurannya, setelah bank berdalih karena pandemi maka mereka pun meminta kelonggaran aturan agar kredit yang sudah macet atau kolektibilitas lima bisa dianggap kurang lancar atau kolektibilitasnya diturunkan ketiga (kurang lancar) atau empat (diragukan).

"Padahal, standar dalam praktik perbankan global, kalau kredit macet harus dicatat sebagai kerugian. Non Performing Loan (NPL) atau rasio kredit bermasalah kita semu, kredit macet dianggap sebagai lancar kan hal ini tidak benar," kata Badiul.

Sebenarnya, kredit macet perbankan, katanya, lebih besar dari yang mereka umumkan di kisaran 2-4 persen atau masih dalam batas ambang aman 5 persen untuk NPL net atau setelah dilakukan provisi atau penyisihan.

Salah kelola (mismanajemen) bank itu ujung-ujungnya meminta pemerintah untuk menalangi (bailout). Padahal, pemerintah sudah pernah punya pengalaman buruk mengenai bailout di masa lalu saat krisis moneter 1997/1998. Pemerintah jangan kembali mengulang kesalahan yang sama mem-bailout perbankan yang pada akhirnya menjadi penyebab negara terbebani seumur hidup seperti obligasi rekap dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai 6.000 triliun rupiah.

Bank seharusnya menyalurkan kredit ke sektor riil, pertanian, industri, bukan ke properti dan untuk membiayai impor yang konsumtif.

Badiul meminta agar pemerintah mengevaluasi kebijakan sektor perbankan, terutama selama pandemi ini.

"Jangan sampai niatan baik pemerintah justru dimanfaatkan oleh oknum nakal di perbankan," tegasnya.

Secara terpisah, Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan tidak selayaknya perbankan menuntut bailout dengan berlindung di balik alasan pandemi, mengingat selama ini pemerintah telah banyak memberikan kelonggaran.

"Pembiayaan yang macet di perbankan sebenarnya bisa diketahui apakah dari dampak pandemi atau sistemik kesalahan dari perbankan itu sendiri yang terlalu agresif mendanai sektor-sektor yang sebenarnya bukan riil. Contohnya, kredit rumah yang bukan untuk ditinggali, tapi investasi. Maka, tidak selayaknya bank-bank minta bailout, karena meskipun terdampak, sebenarnya pemerintah telah banyak memberikan kelonggaran, begitu juga pada UMKM agar bisa pulih.

Masih Berat

Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Achmad Maruf, yang dihubungi terpisah, mengatakan direksi dan komisaris perbankan nasional tidak boleh berlindung di balik pandemi sebagai penyebab tumbuhnya kredit macet.

Inklusi keuangan perbankan, jelasnya, sampai saat ini juga belum menunjukkan kabar menggembirakan. Meski ada klaim peningkatan di sektor UMKM, hal itu harus dibandingkan lebih dulu dengan data total serapan dana perbankan dan kredit-kredit yang dikucurkan di sektor lain. "Mengejar 20 persen dari total portofolio kredit bank saja kan masih berat. Sebaliknya, yang mengucur ke sektor properti besar angkanya terus tinggi," katanya.

Dengan gaji bankir yang besar, kata Ma'ruf, seharusnya para bankir bisa menunjukkan bukti memiliki manajemen risiko yang kuat termasuk menghadapi pandemi. Bukannya malah ketika pandemi, saat semua sektor mengalami masalah yang sama, terus meminta duluan untuk diberi insentif dan kemudahan untuk mengatasi kredit macet.

"Lalu kerja mereka apa, kalau ada risiko minta ditalangi pemerintah? Saat ada masalah datang ke pemerintah, ini kan tidak adil untuk sektor ekonomi lain yang mandiri di saat apa pun," tukas Ma'ruf.

Baca Juga: