JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari yang sebelumnya 3,4 persen menjadi hanya tiga persen pada tahun 2022, kemudian sedikit meningkat menjadi sebesar 3,3 persen pada tahun 2023. Revisi itu karena perekonomian global terus diwarnai dengan meningkatnya inflasi di tengah pertumbuhan yang diperkirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers saat menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan Juni 2022 di Jakarta, Kamis (23/6), mengatakan berlanjutnya ketegangan geopolitik Russia dan Ukraina yang disertai dengan pengenaan sanksi yang lebih luas dan kebijakan nol Covid-19 di Tiongkok menahan perbaikan gangguan rantai pasokan.

"Gangguan dari sisi suplai tersebut disertai dengan meluasnya kebijakan proteksionisme terutama pangan oleh berbagai negara, sehingga mendorong tingginya harga komoditas global yang berdampak pada peningkatan tekanan inflasi global," papar Perry.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), merespons lonjakan inflasi tersebut dengan menempuh pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif sehingga berpotensi menahan pemulihan perekonomian global dan mendorong peningkatan risiko stagflasi.

"Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti AS, Eropa, Jepang, Tiongkok, dan India diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya," kata Perry.

Seiring dengan itu, otoritas moneter itu memperkirakan volume perdagangan dunia akan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Perkembangan tersebut berdampak pada ketidakpastian pasar keuangan global yang masih akan tetap tinggi sehingga mendorong terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.

Alarm Krisis

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan dengan perkembangan global yang dikhawatirkan mengarah ke resesi ekonomi maka pemerintah sebaiknya segera melakukan berbagai kebijakan antisipatif.

"Kami mencermati imbas kontraksi ekonomi di negara maju yang sebenarnya sudah masuk pada resesi teknikal akan berimbas terhadap kinerja ekspor, tekanan modal keluar dan pelemahan nilai tukar rupiah. Alarm krisis harus dinyalakan diseluruh level pemerintahan," kata Bhima.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), jelasnya, perlu melakukan beberapa hal dalam jangka pendek seperti melakukan stres test terhadap perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan lain terutama berkaitan dengan dampak resesi di AS, keluarnya modal asing, dan kenaikan suku bunga yang eksesif (Fed rate naik > empat kali setahun).

Harmonisasi kebijakan antara fiskal dan moneter serta industri jasa keuangan harus sejalan sehingga sektor keuangan maupun sektor riil dalam negeri mampu menahan tekanan dari eksternal atau dari global.

"Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan sebagai pemain kunci harus mengoptimalkan perannya agar kondisi dalam negeri tetap stabil dan terukur," pungkas Bhima.

Baca Juga: