Kajian yang perlu dilakukan adalah efektivitas dari program tersebut dalam mengurangi stunting.

JAKARTA - Bank Dunia menyoroti program kerja calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo-Gibran yang akan memberi makan siang gratis guna memperbaiki gizi masyarakat, terutama ibu hamil.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Satu Kahkonen, menilai program makan siang gratis perlu direncanakan dengan matang, khususnya pada aspek anggaran.

Pemerintah, katanya, harus terlebih dahulu menetapkan dengan pasti bentuk dan sasaran program tersebut, kemudian membandingkannya dengan sumber daya yang dimiliki saat ini.

"Tergantung program seperti apa yang akan dilaksanakan dan bentuknya apa. Semua rencananya harus benar-benar dipersiapkan dan biayanya juga dipersiapkan," kata Satu Kahkonen di Kantor Kemenko Perekonomian Jakarta, Selasa.

Sebagai perwakilan Bank Dunia, hingga saat ini Satu Kahkonen masih menunggu rincian lebih lanjut program Makan Siang Gratis dari pemerintah. "Kami masih menantikan (rincian program Makan Siang Gratis). Untuk Indonesia pada dasarnya berpegang pada pagu defisit fiskal yang telah ditetapkan sebesar 3 persen dari PDB, sesuai dengan peraturan perundang-undangan," kata Satu.

Adapun rincian dari program Makan Siang dan Susu Gratis telah didiskusikan dalam pembahasan Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025.

Program Makan Siang dan Susu Gratis merupakan usulan dari pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Dalam dokumen visi misinya, paslon tersebut menjelaskan program Makan Siang Gratis bertujuan mengatasi masalah tengkes (stunting) dan bakal menyasar siswa prasekolah, sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan pesantren.

Bantuan gizi juga akan diberikan kepada ibu hamil dan balita di seluruh Indonesia untuk meningkatkan kesehatan dan membantu ekonomi keluarga. Program tersebut menargetkan lebih dari 80 juta penerima manfaat dengan cakupan 100 persen pada tahun 2029.

Sedangkan KEM-PPKF sendiri merupakan dokumen resmi negara yang menjadi acuan penyusunan nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Perancangan APBN 2025 menjadi yang terakhir pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan pelaksanaannya akan dijalankan oleh pemerintahan baru mendatang.

Tidak Etis

Sementara itu, sejumlah pengamat menilai pembahasan program Makan Siang Gratis dalam rencana APBN tahun anggaran 2025 tidak etis karena hingga saat ini belum ada keputusan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal pemenang Pilpres 2024. Pemerintah sebaiknya menunggu hasil resmi KPU dan menyelesaikan transisi kepemimpinan, baru bisa membahas program tersebut.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB Suhartoko, mengatakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan memang perlu didukung dengan kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif. Namun demikian, dalam pengelolaan perekonomian suatu negara juga perlu mempertimbangkan stabilisasi dengan pengendalian inflasi dan nilai tukar yang dalam jangka pendek sangat mungkin harus memilih pertumbuhan atau stabilisasi.

Berkaitan dengan program Makan Siang Gratis, selain menyedot APBN yang mempersempit ruang fiskal, bahkan mungkin harus ditutup dengan utang. "Artinya, implementasinya harus dilakukan secara cermat karena sangat mungkin terjadi pergeseran atau pengurangan mata anggaran lain," tegasnya.

Kajian yang perlu dilakukan adalah efektivitas dari program tersebut dalam mengurangi stunting jika hanya dilakukan dalam jangka pendek dan di sekolah, apalagi program tersebut akan mempersempit ruang fiskal dan terjadi pergeseran pengeluaran, bisa jadi program yang sebelumnya prioritas ditangguhkan.

Dihubungi terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan prospek pertumbuhan ekonomi setidaknya akan menghadapi lima tantangan.

Harga pangan terutama beras yang masih akan tinggi bahkan bertahan pasca-Lebaran karena berkurangnya stok pangan. Suku bunga juga masih dalam level yang tinggi dan menganggu penyaluran kredit ke sektor riil. Harga komoditas yang melandai mempengaruhi kinerja ekspor sehingga kinerja perdagangan lebih rendah dibanding tahun lalu.

"Terakhir tekanan dari kondisi ekonomi global mempengaruhi berbagai keputusan investasi di Indonesia. Jadi mencapai pertumbuhan 4,9 persen saja sepertinya butuh kerja ekstra," kata Bhima.

Baca Juga: