JAKARTA - Bank Dunia baru-baru ini menyangsikan target Indonesia untuk menjadi ekonomi berpendapatan tinggi pada tahun 2045 dan menguraikan beberapa tantangan yang dihadapi negara-negara berpendapatan menengah dalam mencapai lompatan tersebut.
Dikutip dari The Star, menurut perencanaan pemerintah, pencapaian target tersebut tepat waktu pada peringatan seratus tahun Kemerdekaan Indonesia akan membutuhkan pertumbuhan produk domestik bruto tahunan sebesar enam hingga tujuh persen dalam 20 tahun ke depan.
"Agar negara-negara berpendapatan menengah bisa memiliki pendapatan tinggi dalam hitungan dekade, bukan abad, diperlukan keajaiban," kata kepala ekonom Grup Bank Dunia, Indermit Gill pada hari Senin (23/9) dalam seminar yang diadakan di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta, dengan tajuk Pembangunan Ekonomi Asean dan Jebakan Pendapatan Menengah.
Sambil mengakui pertumbuhan ekonomi negara yang kuat, Gill menunjukkan bahwa jalan ke depan akan lebih sulit bagi ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Sejak tahun 1970-an, pendapatan per kapita di banyak negara berpenghasilan menengah telah mengalami stagnasi, hanya sebagian kecil dari tingkat di Amerika Serikat, menurut Laporan Pembangunan Dunia 2024 Bank Dunia yang berjudul Perangkap Pendapatan Menengah yang diterbitkan bulan lalu.
"Bahwa ketika negara-negara bertambah kaya, mereka biasanya terjebak dalam 'perangkap' sekitar 10 persen dari PDB Amerika Serikat tahunan per orang yang setara dengan 8.000 dolar AS saat ini," bunyi laporan tersebut.
Dari sejumlah kecil negara yang berhasil mencapai status berpendapatan tinggi sejak tahun 1990, lebih dari sepertiganya merupakan penerima manfaat dari integrasi ke dalam Uni Eropa atau minyak yang sebelumnya belum ditemukan.
Saat ini, 108 negara yang menaungi tiga perempat populasi global termasuk dalam kategori berpendapatan menengah dengan pendapatan per kapita berkisar antara 1.136 hingga 13.845 dolar AS, dan mereka menghadapi tantangan serius dalam upaya mereka untuk menjadi negara berpendapatan tinggi, demikian pernyataan laporan itu, seperti populasi yang menua, fragmentasi perdagangan, krisis lingkungan hidup, dan meningkatnya utang pemerintah.
Meskipun mengakui niat untuk mendukung sektor publiknya, Gill mengatakan Indonesia tidak berkinerja baik dalam efisiensi regulasi dan operasional.
"Bukan berarti Indonesia tidak menuju ke arah yang benar, tetapi laju reformasinya melambat jika dibandingkan dengan negara-negara yang berhasil mengelola transisi ini dengan sukses," ujarnya, seraya menambahkan bahwa laju pertumbuhan Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan yang dicapai oleh Tiongkok dan Korea Selatan di masa lalu.
Ekonom tersebut menyoroti sejarah pembangunan Korea Selatan, yang berubah dari negara berpendapatan rendah menjadi negara berpendapatan tinggi hanya dalam waktu 25 tahun, sebagai "bacaan wajib bagi para pembuat kebijakan di negara berpendapatan menengah mana pun."
Untuk keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah, Bank Dunia merekomendasikan Indonesia mengadopsi kebijakan "3i" yakni investasi, infus teknologi, dan inovasi, dengan Korea Selatan disebut sebagai contoh keberhasilannya.
Gill mengatakan, kemajuan Indonesia terlihat jelas dalam reformasi mendasar tertentu, khususnya di bidang infrastruktur, tata kelola, dan stabilitas ekonomi makro. Di sisi lain, negara ini tertinggal dalam reformasi efisiensi pasar, yang menurutnya penting untuk kemajuan lebih lanjut.
"Bidang-bidang seperti keuangan, ketenagakerjaan, perdagangan, persaingan dan regulasi bisnis ada dalam agenda Indonesia (untuk direformasi) guna mempertahankan pertumbuhannya," lanjut Gill.
"Itulah alasan besar mengapa pertumbuhan produktivitas Indonesia lambat."
Saat ini diklasifikasikan sebagai ekonomi berpenghasilan menengah ke atas dengan PDB per kapita sekitar 5.200 dolar AS, Indonesia bermaksud untuk menaikkan angka ini menjadi antara 19.000 dolar AS dan 22.000 dolar AS pada tahun 2045 untuk mencapai status berpendapatan tinggi.
Kelas menengah negara ini, yang sekarang mencakup sekitar 52 juta orang atau 18,8 persen dari populasi, diperkirakan akan tumbuh secara substansial, dengan pemerintah menargetkan kelompok demografi ini akan mencakup sekitar 80 persen dari populasi pada tahun 2045.
Pengeluaran rumah tangga tetap menjadi pendorong utama PDB negara, yang mencakup lebih dari separuh total output ekonomi.
"Namun, untuk mencapai target mulianya pada tahun 2045, negara tersebut juga harus mengatasi tantangan struktural dan mempercepat reformasi regulasi," kata Gill.
BUMN yang mendominasi pasar merupakan salah satu kendala utama negara untuk menaiki tangga pendapatan, kata Gill.
Gill mengatakan, meski BUMN "pada hakikatnya tidak negatif, kehadiran mereka yang sangat besar dalam perekonomian dapat menyingkirkan perusahaan swasta, sehingga mengurangi ruang bagi persaingan.
Menurut laporan Bank Dunia, Indonesia memiliki skor kepemilikan publik secara ekonomi tertinggi di antara negara-negara berpendapatan menengah besar, yang menunjukkan kuatnya kehadiran BUMN dan kerangka tata kelola yang lebih lemah yang menghambat persaingan.
Ekonom utama Bank Dunia untuk infrastruktur, Maria Vagliasindi, menekankan pada acara yang sama bahwa negara-negara berpenghasilan menengah perlu mengatur pelaku usaha lama, seperti pemimpin pasar, BUMN, dan elit, yang sering menyalahgunakan pengaruh mereka.
"Anda perlu membangun lembaga regulasi untuk membatasi kekuatan petahana yang menggunakan posisi mereka untuk memblokir pesaing," katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa Indonesia "harus menghindari perangkap pendapatan menengah" dengan pengelolaan anggaran negara yang tepat, khususnya dalam pendanaan infrastruktur digital dan peningkatan sumber daya manusia, agar negara ini dapat mencapai status negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045.
"Perangkap pendapatan menengah biasanya muncul sebagai regulasi yang membuat perekonomian semakin sulit, dan pada akhirnya mempersulit kehidupan masyarakat," katanya memperingatkann
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menambahkan, pemerintah akan bertumpu pada industrialisasi untuk pertumbuhan ekonomi, dengan fokus pada sektor manufaktur sekaligus mendorong sektor jasa sebagai katalis, terutama pada industri bernilai tinggi seperti elektronika, pusat data, dan semikonduktor.
"Manufaktur masih memiliki potensi nilai tambah yang jauh lebih tinggi, sehingga memberi kita keuntungan lebih besar," jelas Febrio, namun ia juga mencatat bahwa sektor tersebut harus melalui transformasi terlebih dahulu.
Menurut laporan S&P Global, penurunan di sektor manufaktur negara itu meningkat pada bulan Agustus dengan indeks manajer pembelian (PMI) turun menjadi 48,9 dari pembacaan 49,3 pada bulan Juli.
Wakil Menteri Keuangan, Thomas Djiwandono, mengatakan pada hari Selasa di seminar yang sama bahwa pemerintahan mendatang di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto, yang dijadwalkan menjabat pada bulan Oktober, akan memprioritaskan pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan dan energi untuk transisi ke ekonomi berpendapatan tinggi.
"Proyek-proyek yang layak secara komersial akan dijalankan melalui kemitraan publik-swasta dengan anggaran negara untuk fokus pada pemenuhan kebutuhan kesejahteraan jangka panjang," katanya.
"Mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen yang ambisius bukanlah sebuah mimpi, tetapi sebuah keharusan."