Bank sebagai pemberi pinjaman tetap harus mengukur kelayakan kredit calon debitur dengan prinsip 6C, yakni character, capacity/ cashflow, capital, conditions, collateral, dan constraint.

JAKARTA - Sejumlah kalangan meminta agar lembaga perbankan di Tanah Air lebih mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) ketimbang menggelontorkan pendanaan untuk energi kotor, seperti halnya batu bara. Tujuannya agar pemanfaatan energi bersih (EBT) makin ditingkatkan.

Harapannya itu disampaikan seiring beredarnya kabar dari Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) soal pencairan dana triliunan rupiah yang diberikan perbankan untuk industri batu bara tanpa agunan atau agunannya tidak sepadan dengan pinjaman. Jumlah pendanaan yang mencapai 89 triliun rupiah ini diduga turut didanai oleh bank BUMN.

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, Anis Byarwati, berharap perbankan di dalam negeri, khususnya bank pemerintah benar-benar serius mendukung pembiayaan pengembangan EBT. "Terkait semangat EBT, saya termasuk yang mendukung semangat penggunaan sumber daya terbarukan karena seharusnya potensi ini bisa dimanfaatkan sepanjang masa melihat jumlahnya yang melimpah," tegasnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (Meti), Surya Darma, mengatakan, pada dasarnya saat ini Indonesia sedang memasuki era transisi energi yang melakukan transformasi penggunaan energi dari energi kotor ke energi terbarukan.

Karena itu, lanjut dia, berbagai negara sudah memiliki peta jalan menuju net zero emission melalui transisi energi termasuk Indonesia. Karena itu, target net zero emission (NZE) ini bisa dicapai kalau proses transisi juga berjalan sesuai peta jalan yang sudah dibuat.

Untuk Indonesia, lanjut dia, Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan deklarasi NZE saat COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu. Terkait itu, berbagai perbankan international sudah mulai membatasi pembangunan pembangkit yang berasal dari energi fosil.

"Tidak tepat jika informasi adanya pendanaan oleh bank pemerintah untuk pembangkit energi fosil secara besar besaran sementara itu, pembiayaan untuk mendukung energi yang mendukung capaian target NZE justru tidak dilakukan. Perlu adanya keseimbangan pembiayaan sebagai bagian dari proses transisi energi," tegasnya.

Tanpa Agunan

Terkait pinjaman ini, Anis Byarwati menilai apabila perbankan memberikan pinjaman dengan atau tanpa agunan, harus diatur dengan jelas dalam aturan internal bank. "Menurut saya, bank sebagai pemberi pinjaman tetap harus mengukur kelayakan kredit calon debitur dengan prinsip 6C, yakni character, capacity/cashflow, capital, conditions, collateral, dan constraint. Apabila isu ini benar, tentu bertentangan dengan harus adanya prinsip collateral (agunan)," kata Anis.

Menurutnya, agunan ini sangat penting sebagai second way-out jika debitur melakukan wanprestasi dan secara psikologis menjadi pengikat keseriusan debitur menjalankan usaha dan membayar kewajiban kreditnya.

Terkait kekhawatiran sebagian pihak akan potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kredit macet, anggota Komisi XI DPR RI ini menekankan apabila terjadi penyalahgunaan wewenang atau aturan, hal ini bisa dikenakan beberapa pasal, baik aturan Perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maupun aturan lainnya.

Baca Juga: