Pemerintah harus mendorong kemandirian melalui swasembada pangan untuk menekan importasi yang bisa menggerus APBN.

JAKARTA - Pemerintah harus menghilangkan kebiasaan menyandera anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dengan utang, subsidi, dan impor pangan. Sebab, akibat tiga hal tersebut, APBN terkuras sehingga membuat ruang fiskal makin sempit. Alhasil, anggaran menjadi terbatas untuk membiayai belanja belanja produktif.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, menegaskan pemerintah harus fokus menyiapkan diri menghadapi potensi krisis pangan di masa depan. Salah satunya dengan memperkuat pengembangan energi terbarukan ramah lingkungan, untuk merespons tren lonjakan harga minyak, dan pelemahan rupiah.

"Pemerintah sebaiknya melakukan upaya agar utang tidak terus menggerus APBN, termasuk moratorium pembayaran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan fokus penguatan ketahanan pangan dan energi," tegas Badiul kepada Koran Jakarta, Senin (15/7).

Dia menyampaikan pangan dan energi ini ke depan memang memiliki potensi krisis yang berdampak pada multisektor, dan pemerintah harus punya strategi jitu. Tanpa itu, APBN bakal makin terbebani.

Senada, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menilai pemerintah harus mendorong kemandirian ekonomi melalui swasembada pangan untuk menekan importasi yang bisa menggerus APBN. Dia beralasan importasi pangan membuat Indonesia bergantung terhadap negara lain.

"Sangat berbahaya. Apalagi jika negara tersebut itu mengalami food shortage maka mereka tidak akan menjual bahan pangan mereka ke negara lain, sementara Indonesia sudah tergantung, maka ada kemungkinan kita bisa mendapat bahan pangan dari negara lainnya, tapi harganya sangat tinggi," jelasnya.

Kondisi itu, lanjut Esther, dapat berdampak terhadap lonjakan harga pangan domestik sehingga mengakibatkan inflasi di indonesia. "Jadi, swasembada pangan akan menjaga stabilitas harga dan stabilitas nilai tukar karena kita tidak perlu menggunakan dollar AS untuk impor pangan," ungkapnya.

Sementara itu, Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan situasi APBN perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Anggaran untuk belanja semakin naik, apalagi banyak program butuh anggaran besar tahun depan.

Di sisi lain, penerimaan pajak juga menantang karena daya beli melemah dan permintaan ekspor berkurang. Alarm fiskal terus berbunyi karena pemerintah cuma mengandalkan utang untuk menutup pelebaran defisit APBN.

"Jika gali lubang tutup lubang semakin dalam, konsekuensinya adalah kredibilitas fiskal turun, dan bunga yang harus dibayar akan naik. Peringkat utang Indonesia sedang dipertaruhkan, dan hati-hati tahun depan bayar bunga makin mahal," tegas Bhima.

Kondisi Aman

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan mengenai kondisi utang negara Indonesia yang banyak dikhawatirkan oleh masyarakat akhir-akhir ini. Dia menegaskan kondisi utang pemerintah masih dalam kondisi aman.

"SBN itu 87,9 dari total utang pemerintah dibandingkan pinjaman yang hanya 12,1 persen. Dalam hal ini, makanya kalau kita menggunakan SBN, dia tidak salah-salah amat," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI beberapa waktu lalu.

Menkeu menjelaskan utang jatuh tempo itu tidak masalah selama persepsi APBN, kondisi ekonomi dan keadaan politik dalam negeri tetap terjaga.

"Jadi kalau negara ini tetap kredibel, APBN baik, kondisi ekonomi baik, kondisi politik stabil, maka revolving itu sudah dipastikan risikonya kecil," jelasnya.

Utang pemerintah saat ini mencapai 8.338 triliun rupiah per April 2024. Angka ini naik dari bulan sebelumnya yang mencapai 8.262 triliun rupiah.

Relatif baiknya posisi utang juga tecermin dari rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Per April 2024, rasio utang Indonesia terhadap PDB tercatat sebesar 36,5 persen atau setara dengan 8,338 triliun rupiah dari PDB yang nilainya mencapai 22.830 triliun rupiah.

Baca Juga: