Kota Pangkal Pinang, Pulau Bangka, memiliki kelereng dengan arsitektur yang indah dengan nama Kelenteng Fuk Tet Che. Letaknya di pertigaan Jalan Soekarno Hatta dan Jalan Depati Hamzah di kawasan Semabung. Dari arah kota klenteng ini terlihat karena berada di pojokan di antara dua jalan itu.

Kota Pangkal Pinang, Pulau Bangka, memiliki kelereng dengan arsitektur yang indah dengan nama Kelenteng Fuk Tet Che. Letaknya di pertigaan Jalan Soekarno Hatta dan Jalan Depati Hamzah di kawasan Semabung. Dari arah kota klenteng ini terlihat karena berada di pojokan di antara dua jalan itu.

Pada malam hari Kelenteng Fuk Tet Che sangat megah. Bangunan ini disebut mirip dengan klenteng Klenteng Fu De Ci di Kelapa Kampit diBelitung Timur, Provinsi Bangka Belitung yang jugadidesain dengan corak warna merah dan emas sebagaimana warna khas dari kepercayaan Tionghoa

Dengan sorot lampu dan warna yang warna merah menyala, bangunan ini cukup mencolok. Atapnya terdiri dari dua buah, yang lebih pendek berada di bangunan depan dan yang lebih tinggi berada di belakangnya.

Pilar-pilar klenteng diberi garam biasanya berupa ukiran naga. Demikian dengan dinding-dindingnya dihiasi dengan ukiran tiga dimensi. Sementara pada altarnya terpangsa beberapa patung, dengan lampu dan lilin yang menyala. Pada bagian plafon tergantung lampion-lampion berwarna merah dan kuning.

Bangunan klenteng yang megah ini bukan peninggalan masa lalu. Karena klenteng aslinya sudah hangus terbakar pada 2015. Usaha pengurus dalam mendapatkan dana dari umat dan para donatur bangunan baru dengan ukuran 10 m X 12 m berhasil didirikan, dan diresmikan pada 27 Februari 2017.

Bangunannya bernilai miliaran rupiah menggunakan bahan bangunan yang didominasi batuan asal Tiongkok dengan warna abu-abu mendominasi bagian lantai dinding dan pilar-pilarnya. Desainnya sudah berubah total dari bangunan sebelum terbakar.

Kelenteng Fuk Tet Che lama dibangun menggunakan bahan bangunan sederhana dari bambu dan beratap seng, sehingga tampak seperti pondok. Bangunan baru dibangun secara permanen, 90 persen bangunan dari bahan batu dengan dinding beton agar tidak mudah terbakar. Sedangkan unsur kayu sebagai syarat bangunan kelenteng hanya terdapat pada bagian atas atap dan pintu klenteng.

Sebagai ucapan terimakasih, bangunan Kelenteng baru Fuk Tet Che tertulis nama-nama para donatur pada dinding baru dengan cat warna emas. Terdapat 800 orang donatur yang menyumbang untuk pembangunan Kelenteng Fuk Tet Che.

Kelenteng Fuk Tet Che kala itu hanya dibangun menggunakan bahan bangunan sederhana dari bambu dan beratap seng, sehingga tampak seperti pondok. Di sini umat menghormati Dewa Dewa Bumi (Fu De Zheng Shen / Fuk Tet Cin Sin), yang menjadi dewa terpenting dalam masyarakat tradisional Hakka.

Dewa Bumi dipercaya meninggalkan kelenteng setelah musibah kebakaran yang menghabiskan bangunan. Oleh karenanya selama peresmian pada tahun tersebut pengurus kelenteng kembali memanggil Dewa Bumi dan ajudannya dengan menggelar ritual sembahyang dilengkapi sesajen berupa buah-buahan, kue basah, serta makanan dan minuman kemasan.

Dari sejarahnya, pondasi awal Kelenteng Fuk Tet Che dibangun kira-kira pada abad ke-19. Sebelum kota Pangkal Pinang berkembang seperti sekarang saat itu lokasinya berada di pinggiran. Warga Tionghoa dari tiga desa yang berdekatan seperti Kampung Besi (Tet Fu), Semabung (Yung Ko Hin) dan Kampung Batur awalnya menggunakan kuil ini sebagai tempat penghormatan bagi Dewa Bumi.

Pendirian kuil atau tempat sakral di pertigaan jalan dengan lokasi strategis merupakan bentuk perlindungan terhadap pengguna jalan dari kecelakaan atau bahaya. Tradisi semacam ini dapat ditemui di Tiongkok, misalnya dalam bentuk pendirian shigandang.

Pada era pemerintahan Orde Baru, Kelenteng Kelenteng Fuk Tet Che pernah berganti nama menjadi Vihara Satya Budhi. Setelah terbakar kelenteng ini dibangun kembali dan nama yang aslinya yang secara harfiah berarti Kuil Yang Memuliakan Dewa Bumi.

Tempat bernuansa Imlek atau budaya Tionghoa di Bangka selanjutnya adalah Taman Pha Kak Liang. Berada diutara Pulau Bangka tepatnya di Kampung Kusam, Kelurahan Kuto Panji, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka. Letaknya sekitar 57 km dari pusat kota Sungailiat dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam 15 menit.

Taman tersebut Awalnya merupakan lahan bekas tambang yang disulap jadi tempat peribadatan umat Kong Hu Cu. Berkonsep Taman bernuansa Tionghoa dengan ornamen khas Tiongkok berwarna merah dengan kawasan seluas dua hektar.

Pintu gerbangnya berupa i gapura berbentuk naga. Kemudian di samping klenteng terdapat patung kuda putih yang disebut sebagai Dewa Penolong. Menuruni tangga depan kelenteng menuju kolam ikan yang cukup luas serta adanya jembatan dan gazebo di tengah kolamnya.

Disini para pengunjung dapat melihat ikan air tawar berbagai ukuran. Diantaranya ikan mas dan ikan nila, ada yang berwarna kuning, hitam, dan orange. Pengunjung juga bisa beristirahat di gazebo sambil memberi makan ikan.

Kuliner Peranakan

Seperti Petak Sembilan di Jakarta, Pangkal Pinang memiliki pecinan yang berada di Gang Singapura di Pasar Mambo. Berada di sisi Jalan Mayor Syafrie Rachman, Gang Singapura menjadi tempat yang cocok berburu kuliner di "Kota Seribu Senyuman."

Dalam sejarahnya Gang Singapura menjadi tempat bermukim orang-orang Tionghoa yang bermigrasi dari Singapura di masa lalu. Mereka selanjutnya membuka usaha di kawasan sekitar pasar Pangkalpinang, sebagai pedagang dan usaha kuliner.

Sebagai penanda Gang Singapura terdapat Kelenteng tua Kwan Tie Miaw di dekat pintu gerbang. Di pintu masuknya sendiri terdapat gapura lengkap dengan ornamen khasnya Tiongkok berupa patung naga. Selama menjelajahi gang tersebut wisatawan tidak perlu khawatir kepanasan atau kehujanan kadena sepanjang gang telah terpasang atap.

Di sepanjang jalan banyak berdiri toko-toko yang berjualan aneka rupa termasuk makanan. MemangGang Singapura menjadi surga bagi bermacam jajanan peranakan. Pantiaw hidangan sejenis kwetiau yang dihidangkan dengan ikan dari perairan setempat merupakan kuliner khas di dini. Jajanan lain adalah lontong soto, hingga otak-otak yang terkenal sebagai makanan kecil gaya peranakan. hay

Baca Juga: