» Defisit neraca pangan menandakan Indonesia andalkan impor untuk penuhi kebutuhan pangan nasional.

» Perusahaan raksasa pangan dalam negeri berkontribusi besar menghancurkan pertanian Indonesia.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan kepada seluruh rakyat Indonesia kalau kondisi dunia saat ini belum kondusif. Belum pulih sepenuhnya dari pandemi Covid-19, dunia kembali dikejutkan dengan perang Russia-Ukraina yang berdampak pada berbagai aspek.

"Muncul krisis pangan, krisis energi juga sama, gas sampai harganya lima kali lipat, bensin naik dua kali lipat. Inilah kesulitan-inilah yang dialami hampir semua negara," kata Jokowi saat memberikan sambutan dalam pembukaan acara Zikir dan Doa Kebangsaan 77 Tahun Indonesia Merdeka, di halaman depan Istana Merdeka, Senin (1/8) malam.

Presiden memprediksi dalam enam bulan ke depan, sekitar 800 juta orang di dunia akan mengalami kelaparan akut karena tidak ada yang dimakan. Kondisi tersebut melanda negara kecil maupun negara besar sehingga muncul krisis ketiga yaitu krisis keuangan.

"Beberapa negara yang tidak kuat, ambruk, karena sudah tidak memiliki uang cash, baik untuk membeli energi bensin dan gas atau membeli pangan. Sekali lagi, marilah kita berdoa bersama, zikir bersama, memohon kepada Allah SWT agar negara kita selalu dilimpahi energi dan pangan dan kita tidak kekurangan akan hal itu. Dan kita berusaha berikhtiar bersama-sama agar kita justru melimpah dan bisa membantu negara-negara lain yang sedang kesulitan saat ini," pinta Presiden.

Menanggapi kondisi yang dipaparkan Presiden Jokowi, Pengamat Ekonomi, Salamudin Daeng, mengatakan pemerintah harus membangun petani Indonesia agar produksi pangan bisa mandiri, bukan dengan mematikan petani dengan impor pangan seperti selama ini. Sebab, pada akhirnya akan berujung pada krisis pangan.

Krisis pangan, kata Salamuddin, kalau mau jujur sebenarnya sudah terjadi di Indonesia. Indikatornya terlihat pada neraca pangan Indonesia yang defisit. Hal itu berarti Indonesia mengandalkan pangan impor dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional.

"Pangan pokok bergantung pada luar negeri mulai dari gandum, kedelai, daging, susu, gula, garam. Selama satu dekade terakhir, pertanian relatif tidak terurus," katanya.

Pemerintah, jelasnya, tidak memiliki perhatian dalam memperbaiki pendapatan petani. Harga hasil pertanian relatif stagnan dalam satu dekade, sementara biaya usaha tani meroket.

Sangat sering terjadi kelangkaan saprodi, bibit, pupuk, dan lain sebagainya pada saat musim tanam.

"Biaya usaha tani naik. Ada saat panen harga hasil panen menurun, dipermainkan pedagang. Pemerintah sendiri tidak hadir," tegas Salamuddin.

Dia menegaskan oligarki di Indonesia sangat menikmati pendapatan perusahan mereka dari impor pangan. Perusahaan raksasa pangan dalam negeri berkontribusi besar menghancurkan pertanian Indonesia.

Anggaran Menguap

Anggaran pertanian, tambahnya, tidak jelas menguap ke mana, petani tidak merasakan ada anggaran untuk mendukung pertanian mereka. Sekarang, Indonesia berhadapan dengan krisis pangan global.

"Indonesia bukan masalah krisis yang menjadi perhatian, tetapi kelaparan dan kemiskinan sekarang makin meluas," tegasnya.

Sementara itu, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan penguatan produksi pangan domestik yang seharusnya dilakukan. Orientasinya harusnya tidak hanya pada soal peningkatan produksi semata, tetapi justru harusnya mengutamakan perbaikan kehidupan petani.

Maka dari itu, membangun harus dipahami sebagai upaya penguatan kapasitas dan derajat kehidupannya. Dalam perspektif kedaulatan pangan justru petani menjadi bagian penting yang harus dibangun. Setidaknya, petani harus ditempatkan pada posisi subjek bukan objek pembangunan pertanian.

"Artinya, setiap kebijakan dan program harusnya menggunakan tolok ukur kebutuhan petani, petani menjadi pusat pengambilan kebijakan bukan justru sebaliknya," kata Said.

Program dan kebijakan terkait pembangunan petani pun tidak bisa disamakan pada semua wilayah karena kebutuhan berbeda-beda. Mungkin ada hal yang umum menjadi acuan, tapi perlu juga memperhatikan hal-hal yang spesifik sesuai dengan karakter masing-masing wilayah.

Baca Juga: