» Hampir 95 persen barangbarang yang ditawarkan di platform e-commerce adalah produk impor.

» Betapa Indonesia telah menyia-nyiakan kekayaan alam, jumlah penduduk, dan kualitas manusia sehingga menyebabkan pengangguran bertambah banyak.

JAKARTA - Pemerintah didesak meningkatkan kualitas hasil pertanian nasional melalui agroteknologi. Selain itu, juga perlu membangun industri sekunder pangan yang mampu mengolah komoditas bermutu tinggi dengan standar internasional. Melalui pembangunan manufaktur pangan untuk konsumsi nasional itu, dipastikan mampu menangkal tekanan pangan dan produk industri impor lainnya.

Guru Besar Fakultas Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, yang diminta pandangannya, Senin (1/11), mengatakan kebijakan yang cenderung membuka diri sebesar-besarnya pada impor membuat Indonesia seperti peribahasa tikus mati di lumbung padi. Segala kekayaan alam tidak menjadi kekuatan nasional karena pangan dan kebutuhan konsumsi lainnya lebih banyak dicukupi dari impor, bukan melalui penguatan produksi dalam negeri.

Dwijono mengatakan dengan luasan lahan dan kesuburan tanah di Indonesia yang sering dibilang sebagai sebuah zamrud di khatulistiwa seharusnya kebutuhan pangan melimpah. Namun faktanya, impor pangan dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan di era digital, ketika perusahaan platform perdagangan (e-commerce) menjamur, justru makin membuka serbuan barang impor. Hampir 95 persen barang-barang yang ditawarkan di platform tersebut produk impor. Bahkan setelah 76 tahun merdeka, sepeda saja masih diimpor.

"Betapa Indonesia telah menyia-nyiakan kekayaan alam, jumlah penduduk, dan kualitas manusia sehingga menyebabkan pengangguran bertambah banyak," kata Dwijono.

Semestinya yang diimpor adalah teknologi yang belum mampu dibangun di dalam negeri seperti agroteknologi untuk industri sekunder pangan dan pengolahan pangan yang bermutu tinggi dan berstandar internasional sehingga bisa diekspor.

"Kalau terus-menerus mengimpor barang konsumsi maka pekerja kita mau kerja apa? Pasti jadi pengangguran semua atau terserap di ekonomi informal yang susah menjanjikan peningkatan pendapatan," jelas Dwijono.

Dengan kondisi seperti itu, Presiden semestinya bisa mengevaluasi kinerja para pembantunya dengan mengangkat figur-figur yang mampu bekerja baik, terutama mereka yang mau memperjuangkan para petani menjadi produsen pangan andal.

Seringkali presiden dan meneri kordinator (menko) harus turun tangan sendiri karena menterinya tidak bekerja maksimal. Presiden harus bekerja sebagai menteri dan menko bekerja sebagai dirjen. Menterinya tidak bekerja, untuk apa dipertahankan.

Sebelumnya, Pengamat Ekonomi dari Indef, Nailul Huda, menyerukan kepada Presiden untuk mengganti menteri-menteri yang kebijakannya ajaib, terutama yang selalu meneriakkan impor.

Berbasis Wilayah

Dihubungi terpisah, Pakar Pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Akhmad Fauzi, mengatakan sebagai negara agraris, Indonesia harus memiliki agroindustri bernilai tambah dengan meningkatkan kualitas teknologi hasil pertanian. Dalam penerapannya harus berbasis wilayah, mulai dari hulu sampai hilir.

"Dengan teknologi, model-model agribisnis yang lama bisa lebih menarik lagi dan lebih menghasilkan. Ke depan arahnya harus ke sana," kata Akhmad.

Untuk itu, perlu ada clustering terhadap afirmasi produk unggulan masing-masing wilayah. Dengan clustering, akan menjadi daya ungkit ekonomi karena bahan baku dari daerah itu tidak terlalu mahal. "Begitu pula harus fokus mendukung dari hulu sampai hilir terhadap masing-masing produk unggulan daerah, sehingga risetnya mengarah ke output yang jelas," tuturnya.

Secara terpisah, Anggota Dewan Penasihat Institut Agroekologi Indonesia (Inagri), Ahmad Yakub, mengatakan kehadiran Badan Pangan Nasional bisa dioptimalkan dengan mendorong agar segera bergerak cepat di tiga level kebijakan.

Pertama, di on farm untuk meningkatkan penganekaragaman tanaman sumber karbohidrat lokal. Adapun jenis makanan atau pangan yang dimaksudkan terdiri atas beras, jagung, ketela, singkong, jenis ubi-ubian dan jenis ketela, serta pisang. Semua komoditas lokal itu diharapkan bisa mengurangi konsumsi beras dan gandum impor.

Kedua, dari sisi konsumsi pangan, juga mesti ada pendidikan bagi publik dan generasi muda soal gizi seimbang dan pangan yang beranekaragam. "Terakhir, pascapanen dengan menyiapkan industrinya," papar Yakub.

Baca Juga: