» Ketahanan pangan yang selama ini jalan dengan cara impor harus dirubah agar Indonesia tidak bergantung negara lain.

» FAO melaporkan setidaknya 30 negara terdampak langsung dari perang Russia dengan Ukraina.

JAKARTA - Ancaman kelaparan dunia akibat krisis di negara-negara produsen pangan menjadi perhatian masyarakat global. Bahkan, negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) pun mulai cemas akan bagaimana menyuplai kebutuhan pokok warganya dengan harga yang terjangkau.

Presiden AS, Joe Biden pun akan menggelar konferensi tentang kerawanan pangan pada September mendatang setelah terakhir kali dilaksanakan di Gedung Putih 50 tahun lalu. Konferensi itu diadakan bersamaan dengan harga bahan makanan yang meroket dan masalah rantai pasokan semakin berkontribusi pada kerawanan pangan, memperburuk masalah yang sudah ada dan mempersulit orang Amerika untuk berbelanja makanan pokok mingguan.

"Terlalu banyak keluarga yang tidak tahu di mana mereka akan mendapatkan makanan berikutnya," kata Biden dalam sebuah video yang mengumumkan konferensi tersebut, Rabu (4/5).

Menanggapi kekhawatiran tersebut, pakar pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan, krisis pangan adalah ancaman nyata. Sebab itu, Pemerintah harus menyiapkan upaya untuk menghindarinya dengan membangun kedaulatan pangan yang berbasis pertanian berkelanjutan.

"Akan banyak negara-negara yang menghadapi krisis pangan karena adanya kompetisi dalam mengkonsumsi hasil pertanian. Satu-satunya cara adalah memiliki kedaulatan pangan. Ketahanan pangan yang selama ini jalan dengan cara impor harus dirubah agar kita tidak tergantung negara lain dan terhindar dari krisis ekonomi," kata Ramdan.

Pertanian berkelanjutan jelasnya harus dijalankan dengan mengembalikan bahan organik ke media tanah. Pertanian harus beriotentasi pada bio industri, karena ke depan kompetisi konsumsi akan semakin ketat, baik yang dikonsumsi manusia, maupun untuk pakan ternak, dan hasil pertanian untuk biofuel kareba kelangkaan energi.

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah menegaskan momentum pandemi dan perang Russia-Ukraina seharusnya menyadarkan Indonesia untuk membangun ketahanan pangan yang benar.

"Situasi itu mempengaruhi derajat ketahanan pangan tiap negara. Tidak ada pilihan lain bagi negara kita selain memperbesar daulat dan ketahanan pangan dengan bertumpu pada kekuatan sumberdaya lokal,"tegas Said.

Saat negara- negara lain berlomba memperkuat diri sendiri, sangat keliru jika negara masih berharap pada pasar pangan global.

"Dampaknya sudah cukup jelas. Persoalan pangan yang ada saat ini, mulai dari kedelai, minyak goreng, gandum yang berkontraksi, turut mempengaruhi dan menyebabkan situasi ekonomi, sosial politik panas," kata Said.

Hak Terampas

Situasi itu katanya akan memicu terampasnya hak warga negara atas pangan, karena mereka tidak bisa mengakses dan mengonsumsi pangan secara layak.

Pandemi makin berat dengan kisruh Russia Ukraina. Apalagi kedua negara merupakan eksportir pangan dan bahan baku pupuk. Laporan terbaru dari High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition, FAO tahun 2022 menunjukkan bahwa sekurangnya ada 30 negara yang langsung terdampak karena perang tersebut.

Mereka terdampak parah karena supply pangannya (gandum) lebih dari 30 persen berasal dari dua negara yg berkonflik. Selain 30 negara itu, perang juga menyebabkan goncangan stok dan harga. Hal itu dirasakan semua negara importir termasuk Indonesia yang menjadi salah satu importir gandum terbesar di dunia.

International Food Policy Research Institute/IFPRI (2022) bahkan memprediksi bahwa gejolak harga tidak hanya pada gandum namun juga tepung jagung dan kacang kedelai.

"Jika demikian Indonesia juga akan merasakan hal yang lebih berat. Terutama terkait kedelai. Kisruh kedelai sudah berlangsung beberapa bulan ini," katanya.

Belum lagi dampak kenaikan harga pupuk dan bahan bakar yang pada gilirannya akan mempertajam kenaikan harga pangan global. Bagi Indonesia, sebagai importir bahan baku pupuk dari Russia juga akan membebani produksi yang otomatis ikut ditanggung petani.

Sebab itu, dia menyarankan agar pemerintah mendorong pola konsumsi pangan masyarakat yang lebih beragam dan berbasis pada komoditi lokal. Dengan demikian pola pangan nasional menjadi local based.

Baca Juga: