Bendungan dibangun, tapi alih fungsi lahan dibiarkan, pupuk susah, dan bibit unggul tidak ada.

JAKARTA - Setelah 30 tahun terjebak sebagai negara berpendapatan menengah, pemerintah dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 berencana keluar dari jebakan berpendapatan menengah (middle income trap) pada 2038 dengan menargetkan tingkat pertumbuhan rata-rata 7 persen per tahun atau minimum 6 persen.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, usai sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/2), mengatakan target untuk keluar dari middle income trap itu diharapkan sudah tercapai pada 2041.

Selain target pertumbuhan ekonomi, dalam rapat RKP dan KEM-PPKF juga disepakati rasio ketimpangan (gini ratio) sekitar 0,37 dan Indeks Modal Manusia bisa mencapai 0,67, kemudian penurunan indeks gas rumah kaca di angka 38,6.

"Kami juga mengingatkan bahwa ekspor barang-barang Indonesia khususnya ke Eropa akan dikenakan aturan carbon border adjustment mechanism yang sedemikian rupa memperhitungkan keberpihakan Indonesia dalam upaya penurunan gas rumah kaca," kata Suharso.

Peneliti Ekonomi Celios, Nailul Huda, yang diminta pendapatnya mengatakan target itu justru akan membebani negara sendiri. Hal yang paling penting dan utama adalah pertumbuhan yang berkualitas dan seimbang antara pertumbuhan ekonomi, ketimpangan, dan lingkungan.

Dengan target seperti itu, kemiskinan mungkin bisa turun, kemudian pengangguran bisa berkurang, tetapi potensi problem menjadi negara berpendapatan tinggi adalah ketimpangan meningkat pula," tegas Huda.

Demi mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen, tuturnya, maka modal masuk akan deras, tetapi tidak mempedulikan masyarakat miskin akan mendapatkan manfaat kue seperti apa dari situ, begitu juga lingkungan akan rusak.

Kedua, lanjut Huda, semua negara mengalami perlambatan ekonomi pada 2025 hingga 2050 akibat tidak adanya faktor pengungkit seperti teknologi maju. Target 6-7 persen itu berat. Di era pemerintahan Presiden Jokowi, hanya tahun 2022 yang mencapai target pertumbuhan ekonomi. Itu pun dibantu oleh low-based effect tahun 2021.

"Sisanya nyungsep semua. Tahun depan 5,3-5,6 persen sulit tercapai. Lima persen saja sudah bagus," tukas Huda.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, meminta Bappenas untuk tidak utopis dalam menerapkan target-target pembangunan. Dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi saja pertumbuhan rata-rata hanya 5 persen dan pertumbuhan di-support oleh konsumsi rumah tangga. Sementata indeks kualitas investasi justru makin menurun.

Dia mencontohkan bagaimana ramainya pameran otomotif di Indonesia International Motor Show (IIMS) di Jakarta, pekan lalu, namun sayang, sebagian besar produk otomotif masih impor. Kalaupun dibuat di dalam negeri, sifatnya masih assembling. "Konsumsi jadi andalan, tapi barang konsumsinya impor. Yang paling ironis adalah pangan saja sekarang sangat tergantung pada impor, masih mengandalkan impor. Bagaimana mau tumbuh 7 persen?" tanya Maruf.

Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dan bendungan di era Jokowi, menurut Maruf, harus diakui sebagai capaian. Namun, kalau mau tumbuh tinggi baik jalan dan bendungan harus meningkatkan produksi.

Jalan menopang konektivitas, tapi kalau yang dikoneksikan adalah barang dari Tiongkok ke pelosok desa Indonesia, susah bagi Indonesia akan tumbuh tinggi.

"Bendungan dibangun, tapi alih fungsi lahan dibiarkan, pupuk susah, bibit unggul tidak ada. Itu PR kita ke depan setelah infrastruktur dibangun di era Jokowi," tandas Maruf

Perekonomian Desa

Pakar pertanian dari pengamat pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Zainal Abidin, mengatakan Indonesia bisa keluar dari middle income trap dengan membangun perekonomian desa yang kuat berbasis pertanian.

"Potensinya (middle income trap) memang nyata, apalagi di masa depan pangan akan menjadi salah satu sektor yang menjadi rebutan, selain energi dan air. Karena sudah menyangkut kebutuhan pokok dan mayoritas mata pencaharian masyarakat kita, maka tidak ada jalan lain, pemerintah harus membangun desa melalui pertanian yang kuat," kata Zainal.

Penguatan ekonomi harus dimulai dari wilayah perdesaan yang selama ini menderita karena kesejahteraan petani yang tidak bergerak atau bahkan masih miskin.

"Mengapa harus pertanian? Selain melibatkan mayoritas penduduk kita, bagaimana pun sektor ini adalah potensi keunggulan kita dengan lahan yang masih banyak tersedia dan berproduksi. Dengan sumber daya terbesar yakni tenaga kerja di perdesaan, jika pemerintah berpihak ke sektor ini, otomatis ekonomi desa akan tergerak dan secara nasional ikut mengangkat perekonomian," pungkasnya.

Baca Juga: