Akhir pekan lalu, dosen-dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyerukan pesan perdamaian terkait kondisi sosial politik setelah kontestasi Pilpres 2019.

Seruan kembali merajut persatuan dan membuang berbagai fanatisme persaingan menguat. Koran Jakarta mewawancari salah satu inisiator seruan dari Balairung tersebut, yaitu dosen muda, pakar kriminologi ekonomi FEB UGM, Rimawan Pradipta. Berikut petikannya.

Apa sebenarnya akar munculnya perbedaan politik yang begitu tajam?

Bukan pilihan strategi para pasangan calon atau paslon yang saya lebih fokuskan, namun lebih pada bagaimana masyarakat menyikapi terhadap pilihan strategi itu.

Satu hal yang patut menjadi keprihatinan adalah maraknya hate speech terkait pribadi. Masalah semakin kompleks karena para simpatisan kedua paslon terjebak ke retorika menihilkan profil paslon lawan, namun melupakan diskusi tentang program yang ditawarkan.

Bagaimana mengenai pola politik identitas yang juga menguat?

Perlu dipahami bahwa masyarakat kita adalah majemuk (heterogen). Setiap upaya menggunakan politik identitas untuk pemilu, pada dasarnya menafikan fakta bahwa bangsa ini adalah majemuk. Dampaknya adalah polarisasi "mereka" dan "kita". Padahal, mana mungkin melakukan pembangunan di negeri ini tanpa partisipasi semua pihak yang majemuk tadi.

Kompleksitas yang muncul adalah jika masyarakat tidak bisa "move on" dan tetap menggunakan narasi "mereka" vs "kita" dan tentunya melupakan "kami bangsa Indonesia", maka siapa pun pemimpinnya akan kesulitan dalam membangun negeri ini. Pertanyaannya, jika pembangunan tersendat, siapa yang diuntungkan. Sementara di saat yang sama, negara-negara lain giat membangun.

Lalu, mengapa para dosen ikut terpanggil?

Pesan itulah yang disuarakan oleh dosen-dosen UGM beberapa hari lalu. Ketika kedua paslon sudah sama-sama menempuh jalur konstitusi, maka kita sebagai masyarakat tinggal menunggu keputusan MK dan kita fokus bekerja dan berkontribusi di bidang masing-masing. Pemilu adalah proses rutin lima tahunan. Bangsa ini perlu segera fokus ke masalah pembangunan karena pemilu telah usai dan kedua pihak sepakat menempuh jalur konstitusi.

Kondisi ini tidak bisa berlarut-larut karena tentu tidak ada elemen bangsa Indonesia yang diuntungkan dari situasi ini.

Apa tujuan para dosen UGM tersebut?

Para dosen UGM ingin menegaskan untuk menghentikan menghalalkan segala cara, utamakan integritas dan kejujuran. Tapi masalahnya, kejujuran sepertinya belum mendapat insentif yang cukup baik dari masyarakat maupun negara.

Apakah dengan pernyataan bersama hal itu akan berhasil?

Masih banyak PR yang perlu dilakukan untuk membangun sistem yang menciptakan incentive compatibility bagi setiap insan untuk berintegritas. Negara maju melakukan reformasi puluhan tahun di abad 18-19 untuk mencapai sistem berintegritas yang berlaku di negara mereka hingga saat ini. Inggris melalui 52 tahun reformasi (1780-1832) dan kemudian menjadi negara adi daya hingga akhir PD II. Di Asia kita bisa belajar dari Singapura, Hong Kong, dan Korsel yang juga melakukan reformasi besar-besaran melawan korupsi dan kita bisa lihat kinerja ekonomi negara-negara tersebut.

eko SP/AR-3

Baca Juga: