» Di AS, bank-bank besar dibanjiri permintaan dari nasabah yang mentransfer dana dari lembaga pemberi pinjaman yang lebih kecil.

» AS diharapkan mengambil langkah cepat agar sentimen negatif tidak merembet.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan semua pihak untuk berhati-hati dengan kegentingan ekonomi global setelah kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat (AS) dan disusul likuidasi Signature Bank.

"Kita tahu baru sehari dua hari lalu hal-hal yang tidak terduga muncul. Ada kebangkrutan bank di Amerika, Silicon Valley Bank. Semua ngeri begitu ada satu bank yang bangkrut. Dua hari muncul lagi bank berikutnya yang kolaps, Signature Bank," kata Presiden saat membuka Business Matching Produk Dalam Negeri, di Jakarta, Rabu (15/3).

Bangkrutnya bank yang banyak menyalurkan pembiayaan ke perusahaan rintisan (startup) itu menyedot perhatian negara-negara dunia. Kebangkrutan bank tersebut, kata Jokowi, menimbulkan kengerian di pasar keuangan dunia. "Semua negara sekarang menunggu efek domino akan ke mana," kata Presiden.

Pada kesempatan lain, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan kendati Indonesia saat ini relatif lebih siap menghadapi sentimen negatif yang berasal dari kebangkrutan dua bank di AS, namun pemerintah tetap memperhatikan yang terjadi di AS karena menjadi tantangan baru ekonomi global.

Airlangga mengaku telah berdiskusi dengan Perwakilan Dagang AS, Katherine Tai, mengenai seberapa jauh akibat dari penutupan SVB dan Signature Bank bisa membawa efek sentimen negatif di kawasan Asia.

"Diperkirakan pemerintah AS akan mengambil jalan cepat agar sentimen negatif ini tidak merembet ke berbagai negara lain," kata Airlangga.

Kejadian saat ini, katanya, menjadi alarm bagi Indonesia bahwa perbankan juga bisa runtuh karena manajemen asetnya yang kurang terdiversifikasi, dominan ke perusahaan rintisan.

Pindahkan Dana

Di AS, bank-bank besar dibanjiri permintaan dari nasabah yang mencoba mentransfer dana dari lembaga pemberi pinjaman yang lebih kecil, karena kegagalan SVB mengakibatkan apa yang dikatakan para eksekutif sebagai pergerakan simpanan terbesar dalam satu dekade lebih.

Dilaporkan Financial Times, bank seperti JPMorgan Chase, Citigroup, dan lembaga keuangan besar lainnya mencoba mengakomodasi nasabah yang ingin memindahkan simpanan dengan cepat, mengambil langkah ekstra untuk mempercepat proses pendaftaran atau "onboarding" normal, menurut beberapa orang yang mengetahui masalah tersebut.

Paket tindakan darurat yang diumumkan pemerintah AS pada Minggu (12/3), termasuk fasilitas pinjaman Federal Reserve yang baru untuk bank, tampaknya telah lulus ujian besar pertamanya untuk saat ini dengan mencegah kegagalan bank ketiga menyusul bangkurtnya SVB dan Signature Bank.

Namun deposan masih berusaha memindahkan saldo ke bank yang lebih besar seperti JPMorgan, Citi, dan Bank of America, serta dana pasar uang, kata orang tersebut. Hal itu terutama terjadi saat saldo melebihi ambang 250.000 dollar AS yang dijamin asuransi federal.

Peneliti Ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendi Manilet, mengatakan masalah miss management yang menimpa SVB dan Signature Bank bisa menimpa semua bank, baik bank yang asetnya kecil maupun besar, termasuk bank-bank di Indonesia.

Salah satu masalah salah pengelolaan di SVB karena kurang terdiversifikasinya, pengelolaan dana mereka. Banyak dana disalurkan ke perusahaan teknologi, ada juga yang ditempatkan di US Treasury, tetapi yang tenornya panjang.

Langkah tersebut tidak salah, tapi ketika the Fed menaikkan suku bunga acuan maka otomatis mendorong naiknya imbal hasil suku bunga jangka pendek, sementara harga surat utang jangka panjang turun. "Itu mempengaruhi kinerja keuangan. Pas nasabah mau memindahkan dananya, dari SVB ke surat utang jangka pendek, maka bank kesulitan likuiditas," papar Yusuf.

Apalagi, fokus pembiayaan bank ke perusahaan teknologi dan sayangnya itu tidak diimbangi dengan kemampuan untuk generate dana dari sumber yang lain. Artinya, ketika debitur yang rata-rata perusahaan rintisan tidak mampu menghasilkan pengembalian dana yang lebih besar dibanding permintaan dana dari pemilik dana maka terjadi mismatch yang berakhir rush dana oleh nasabah.

Masih Bergantung AS

Secara terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan peringatan Presiden dan Menko Perekonomian tersebut patut diperhatikan pelaku industri jasa keuangan mengingat kebergantungan ekonomi nasional terhadap luar masih tinggi.

"Saya kira warning pemerintah ini bagus. Tidak ada buruknya. Kalau tidak sampai terjadi, ya syukur. Kalau sampai kejadian, setidaknya kita bersiap. Karena kebergantungan ekonomi kita pada luar, terutama AS dan Tiongkok masih tinggi. Ekspor kita banyak ke kedua negara yang bisa dikatakan ekonomi perdagangannya sudah sejajar, sama-sama terkuat di dunia," kata Wibisono.

Kalau ada masalah di sektor keuangan AS, biasanya berimbas ke hampir seluruh dunia karena dana-dana dari fund manager diinvestasikan di berbagai negara.

"Sekarang yang bermasalah di sektor jasa keuangan, kita tidak tahu apa sektor riil atau dunia usahanya tidak terdampak. Kita berharap ini tidak sampai berlarut. Karena kalau ekonomi sekuat AS saja yang selama ini produktivitas sektor riilnya kuat bisa terdampak, apalagi negara yang di bawahnya," kata Wibisono.

Baca Juga: