Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengungkapkan bahwa Indonesia turut mengantisipasi dampak invasi Rusia ke Ukraina. Menurut Sri Mulyani, konflik yang melibatkan kedua negara bekas Uni Soviet tersebut telah menyebabkan krisis energi dan krisis pangan.

Walau demikian, Indonesia belum merasakan dampak signifikan seperti yang dirasakan negara di kawasan Amerika Selatan hingga Afrika.

"Disruption supply harus terus diantisipasi karena ini bukan krisis jangka pendek ini cukup struktural di level global," ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, pada Selasa (31/5) lalu.

Menurut Sri Mulyani, Indonesia harus bisa mengurangi risiko terganggunya suplai, terutama dalam aspek makanan dan energi.

"Indonesia harus mampu mengurangi risiko supply disruption terutama bidang pangan dan energi dengan strategi APBN maupun non APBN," jelasnya.

Adapun beberapa komoditas dalam kelompok pangan yang patut menjadi perhatian adalah kedelai, gandum, minyak goreng dan bawang merah. Sementara dalam kelompok energi. yakni BBM, listrik, dan LPG, gas alam serta batu bara.

Invasi Rusia di Ukraina memang telah menyebabkan krisis pangan dan energi di sejumlah wilayah. Afrika misalnya, invasi Rusia telah memperparah kelaparan di Sahel, di mana para petani mengalami produksi pertanian terburuk selama lebih dari satu dekade.

Pasalnya, hampir semua gandum yang dijual di Somalia berasal dari Ukraina dan Rusia, yang telah menghentikan ekspor mereka melalui Laut Hitam. Ukraina diketahui mengekspor lebih dari 95 persen gandum, gandum, dan jagung melalui Laut Hitam.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bahwa diperkirakan 13 juta orang menghadapi kelaparan parah di wilayah Afrika sebagai akibat dari kekeringan yang berkepanjangan dan akan semakin memburuk ketika musim paceklik tiba di akhir musim panas.

"Kelaparan akut melonjak ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dan situasi global terus memburuk. Konflik, krisis iklim, COVID-19, dan melonjaknya biaya makanan dan bahan bakar telah menciptakan badai yang sempurna - dan sekarang kita menghadapi perang di Ukraina yang menumpuk malapetaka di atas malapetaka," ujar Direktur Eksekutif WFP David Beasley seperti dikutip dari AP.

UNICEF bahkan memperingatkan kemungkinan naiknya biaya makanan terapeutik untuk anak-anak kurang gizi hingga 16 persen selama enam bulan ke depan karena perang di Ukraina dan gangguan terkait pandemi.

Menurut PBB, negara-negara Afrika mengimpor 44 persen gandum mereka dari Rusia dan Ukraina antara 2018 dan 2020. Bank Pembangunan Afrika telah melaporkan kenaikan 45 persen dalam harga gandum di benua itu.

"Afrika tidak memiliki kendali atas produksi atau rantai logistik dan sepenuhnya bergantung pada situasi ini," kata Presiden Senegal Macky Sall, ketua Uni Afrika, yang mengatakan dia akan melakukan perjalanan ke Rusia dan Ukraina untuk membahas kesengsaraan harga.

Begitu juga dengan Timur Tengah. Lebanon misalnya, negara yang sudah bertahun-tahun mengalami krisis utang dan inflasi itu diketahui mengimpor 60 persen gandumnya dari Rusia dan Ukraina. Begitu juga Mesir yang dilaporkan mengimpor 80 persen gandumnya juga dari kedua negara tersebut.

Alhasil, beberapa negara berpendapatan menengah ke bawah telah melaporkan terjadinya inflasi tinggi akibat krisis pangan. Bank Dunia sendiri dalam laporannya yang diterbitkan pada April, menuturkan kenaikan harga pangan global baru-baru ini menjadi rekor sejak 2008. Biaya pangan berbagai negara diprediksi akan meningkat sebesar 22,9 persen pada tahun ini akibat kenaikan harga gandum yang meroket sebesar 40 persen.

Baca Juga: