JAKARTA - Wakil Ketua Badan Legislatif DPR, Willy Aditya, dalam rapat dengan Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Selasa (29/3) mengatakan bahwa dari 500 DIM RUU TPKS ada 300 DIM yang bersifat substansial yang masih dibahas. Salah satu pembahasan yang masih mengganjal di parlemen adalah keberadaan frasa "tanpa persetujuan korban" dalam RUU TPKS.

Frasa tersebut dinilai membingungkan karena kalau dengan "persetujuan korban" artinya boleh terjadi hubungan seksual - bagi pasangan yang belum terikat perkawinan.

Pengritik frasa ini datang dari Fraksi PKS yang khawatir dapat menjadi pintu masuk untuk mengizinkan praktik seks bebas di Indonesia.

Sebaliknya, ada juga yang berpendapat justru dengan hadirnya frasa "tanpa persetujuan korban" merupakan bagian penting dalam menentukan apakah suatu perbuatan tergolong ke dalam kekerasan seksual atau tidak.

Frasa "tanpa persetujuan korban" merupakan terjemahan dari kataconsentyang menjadi unsur penting dalam pengertian kekerasan seksual.

Ketiadaan persetujuan atauconsentdalam berhubungan seksual menandakan adanya unsur pemaksaan dalam melakukan hubungan. Kecuali korban masih di bawah umur, dalam keadaan sakit, atau cacat sehingga tidak berdaya tentu tidak memerlukan frasa "tanpa persetujuan korban".

Hal lain yang juga terungkap dalam pembahasan RUU TPKS ini juga nantinya akan mengatur bahwa pelecehan seksual nonfisik dapat dipidana dengan delik aduan.

Seperti dikatakan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Omar Sharif Hiariej, ketentuan tersebut diatur dengan delik aduan karena pelecehan seksual nonfisik sifatnya subjektif.

"Subjektif delik itu adalah betul-betul adalah perasaan subjektifitas seseorang, tetapi tidak bisa sembarang orang melapor. Itu akan dibatasi, kita bungkus (dengan) menyatakan bahwa ini adalah delik aduan," kata Edward dalam rapat dengan Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Selasa (29/3).

Baca Juga: