JAKARTA - Badan Pangan Nasional mencatat sebanyak 74 kabupaten/kota atau 14 persen dari jumlah daerah di Indonesia masuk dalam kategori rentan rawan pangan di Indonesia pada tahun 2021.

Kerentanan rawan pangan tersebut lantaran adanya ketimpangan antara produksi pangan dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat.

"Berdasarkan data Food Security and Vurnerability Atlas (FSVA) 2021, masih ada 74 kabupaten kota yang masuk kategori sebenarnya rentan rawan pangan," kata Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan BPN, Rachmi Widiriani, dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Kamis (18/8).

Rachmi menyampaikan data FSVA BPN mencatat 29 daerah masuk kategori sangat rentan, 17 daerah rentan dan 28 daerah agak rentan.

Sementara itu, sebanyak 43 daerah masuk kategori agak tahan, 106 daerah kategori tahan, dan 291 daerah kategori sangat tahan.

Seperti dikutip dari Antara, berdasarkan peta FSVA, mayoritas wilayah tersebut berada di Indonesia Timur seperti Maluku dan Papua.

Ia menyebut jumlah daerah yang rentan rawan pangan tahun 2021 meningkat dari tahun 2020 yang sebanyak 70 kabupaten/kota.

Kekurangan Gizi

Selain ketimpangan produksi pangan dibanding kebutuhan, faktor lain penyebab daerah rentan rawan pangan, antara lain persentase penduduk miskin yang relatif tinggi, prevalensi balita yang kekurangan gizi kronis (stunting), hingga akses air bersih yang masih terbatas.

"Hal ini membuktikan sebagian wilayah merupakan sentra produksi yang dapat memenuhi kebutuhan, namun sebagian lain pemenuhan pangannya harus didatangkan dari wilayah lain," ujarnya.

Lebih lanjut, Rachmi menyampaikan perlunya strategi penguatan rantai pasok logistik pangan untuk memenuhi kebutuhan di semua wilayah.

Indonesia juga harus mencari substitusi pangan agar dapat mendiversifikasi pangan impor dengan pangan lokal guna mengurangi ketergantungan terhadap pasar dunia.

Guru Besar Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan Indonesia sebenarnya memiliki komoditas unggulan yang bisa mengurangi rawan pangan karena ketergantungan Indonesia terhadap impor terigu.

"Sorgum itu baik sekali kalau dikembangkan, bisa berkembang cepat dan mengurangi impor terigu yang selama ini impor 100 persen itu," katanya.

Dwijono menjelaskan, dari sisi sifat dan kandungan gizinya sorgum memang sangat mirip dengan tepung terigu.

Berbeda dengan tepung mocaf yang berasal dari singkong yang memerlukan proses fermentasi agar bisa menjadi tepung setara tepung terigu, sorgum memungkinkan proses yang lebih sederhana.

Baca Juga: