JAKARTA - Publik mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk mewujudkan kemandirian pangan melalui kehadiran Badan Pangan Nasional. Berbagai tudingan lahirnya lembaga itu hanya sekadar asal ada memenuhi amanat UU No18 Tahun 2012 tentang Pangan, memunculkan spekulasi kalau badan tetap dimanfaatkan para pencari rente (rent seeking) untuk mencari keuntungan melalui kebijakan impor.

Pakar Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Ma'ruf, saat diminta pandangannya, Selasa (31/8), mengatakan pembentukan Badan Pangan Nasional sebagai amanah UU Pangan adalah upaya negara untuk mengembalikan pangan sebagai urusan basic need yang harus dijamin negara seperti halnya hak asasi manusia.

"Prinsip utama penyelenggaraan basic need oleh negara dalam konteks pangan adalah kedaulatan pangan dan bukan hanya ketersediaan pangan. Setiap presiden yang tidak melaksanakan pembangunan agraria yang serius, selalu pensiun dengan menyesal. Kalau Badan Pangan asal ada dan bukan untuk mendorong kemandirian pangan karena dikebiri, maka tidak akan bernilai dan tidak menghasilkan sesuai keinginan masyarakat," kata Ma'ruf.

"Cerminan utama berdaulat pangan itu kalau produsen pangan dalam negeri makmur. Indikatornya nilai tukar petani, nilai tukar nelayan. Petani harus jadi subjek utama, bukan malah importir seperti yang selama ini terjadi," kata Ma'ruf.

Badan Pangan kalau tidak mampu menghentikan rent seeking dalam mengimpor pangan maka akan percuma, karena kedaulatan pangan sampai 100 tahun ke depan tidak bakal terwujud.

Para pencari rente dari impor pangan, kata Ma'ruf, harus disingkirkan oleh Badan Pangan. Kalau itu bisa dilakukan maka masalah pangan bisa dilihat dengan objektif, sehingga upaya merumuskan kedaulatan pangan dalam beberapa waktu ke depan lebih tertata.

"Tanpa membebaskan diri dari keputusan importir, maka sulit untuk menentukan dan mendelegasikan urusan selanjutnya yang diemban oleh kementerian teknis.

Pengendalian Harga

Secara terpisah, Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan kehadiran Badan Pangan jangan sampai membuat rantai koordinasi makin panjang sehingga keputusan pengendalian harga pangan menjadi tidak efektif.

Dalam Pasal 12 Perpres Nomor 66 Tahun 2021 disebutkan fungsi stabilitas pasokan dan harga ditingkat konsumen dan produsen. "Apa bisa melakukan kebijakan tadi kalau fungsi Badan Pangan masih kalah dengan peran kementerian perdagangan dan kementerian pertanian yang mengeluarkan rekomendasi impor," kata Bhima.

Sikap skeptis dari publik harus dijawab lembaga itu dengan menunjukkan kapasitasnya yang powerfull, bukan sekadar macan kertas.

"Kalau tidak mampu menyelesaikan persoalan pangan, ya jadi pemborosan anggaran. Kita akan lihat nanti, apakah berani berhadapan dengan mafia pangan," tutup Bhima.

Baca Juga: