» Badan Pangan semestinya mendorong penganekaragaman komoditas selain padi, jagung, dan kedelai (pajale).

» Penyatuan data dari kementerian diharapkan menutup celah yang kerap dimanfaatkan pencari rente dengan impor.

JAKARTA - Setelah molor selama enam tahun, akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 29 Juli 2021 menandatangani Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional. Dengan terbentuknya Badan Pangan Nasional itu, sejumlah kalangan menyambut baik dan berharap menjadi era baru penyelenggaraan pangan nasional.

Berdasarkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Badan Pangan paling lambat terbentuk tiga tahun setelah UU disahkan atau pada 2015.

Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia (Inagri), Ahmad Yakub, yang diminta pendapatnya, Rabu (25/8), berharap harmonisasi dan sinkronisasi aturan segera diselesaikan agar Badan Pangan bisa cepat bekerja.

Dalam Perpres, jelas Yakub, badan tersebut akan dipimpin seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, koordinasi urusan pangan nasional yang selama ini tercerai berai di banyak lembaga dan kementerian bisa terpusat.

Badan tersebut, katanya, juga memiliki wewenang mengorkestrasikan tak hanya koordinasi, tapi juga perumusan, penetapan kebijakan, serta pelaksanaan ketersediaan pangan, stabilitas, sampai harga dan masalah kerawanan pangan.

"Dengan demikian, sistem informasi kita akan menjadi jernih dan lebih baik. Dengan data yang valid dan hanya ada satu neraca pangan saja, tidak seperti selama ini tarik-menarik antarkementerian. Keputusan dan kebijakan benar-benar mencerminkan kebutuhan nasional, bukan kepentingan kelompok atau golongan," jelas Yakub.

Bagi BUMN bidang pangan seperti Perum Bulog, menurut Yakub, akan menjadi efektif dan efisien dalam pengambilan keputusan penugasan, pengadaan, dan distribusi cadangan beras pemerintah (CBP). Pendanaannya pun diharapkan bisa terpenuhi melalui APBN, bukan menggunakan dana bank seperti yang selama ini membuat Bulog tidak punya kekuatan untuk menjaga CBP.

"Bukan hal mudah mewujudkan kedaulatan pangan, tapi Perpres ini harapan besar kembali terbuka. Kepala BPN harus kuat dan mampu mengoordinasikan pelaksaan kebijakan oleh kementerian atau lembaga terkait pangan nantinya," kata Yakub.

Dihubungi terpisah, Dewan Penasihat Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, mengatakan walaupun terlambat, tapi Perpres patut diapresiasi karena Presiden sudah melaksanakan mandat UU Pangan.

"Keterlambatan ini memang ada sejumlah konsekuensi," katanya.

Konsekuensi pertama adalah problem hukum yang ditimbulkan oleh Omnibus Law. UU Pangan semangatnya adalah pembatasan impor maka yang diutamakan adalah kecukupan pangan dengan titik berat pada kecukupan produksi pangan dan cadangan pangan nasional baru.

"Omnibus Law yang hadir belakang, membuat impor lebih terbuka. Inilah pentingnya bagaimana memperhitungkan cadangan pangan sehingga kecukupan produksi pangan di dalam negeri terus didorong," jelas Gunawan.

Dia juga memberi catatan bahwa masalah produksi dan kecukupan pangan bukan sekadar masalah perut, tapi juga masalah sosiologis, antropologis, dan integrasi politik daerah. Sehingga, dalam konteks tugas Badan Pangan untuk mendorong penganekaragaman semestinya juga memperluas komoditas jenis pangan selain pajale (padi, jagung, dan kedelai) ditambah umbi-umbian, sagu, dan ikan.

"Beras bisa jadi harga diri orang Jawa, tapi sagu harga diri Papua. Jadi, jika bisa memberi ruang bagi sagu juga yang akan menjawab masalah politik di sana. Begitu juga dukungan untuk perikanan, ikan asin dan ikan teri sebagai sembako, ini dukungan untuk masyarakat pesisir," papar Gunawan.

Karut-Marut

Sementara itu, Koordinator Nasional untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, berharap Badan Pangan Nasional bisa mengatasi karut-marut tata kelola pangan, khususnya impor pangan yang selama merajalela dan menjadi celah bagi pemburu rente.

Perpres, terang Said, mengatur pengelolaan ketersediaan, distribusi, termasuk importasi menjadi kewenangan Badan Pangan. "Pada satu sisi, dengan tersentralisasinya keputusan atau kebijakan soal impor di Badan Pangan maka akan mengurangi kewenangan kementerian, sehingga mungkin lebih efektif dibandingkan rakor Kemenko terkait kebijakan impor," kata Said.

Kendati lebih efektif, Said menyoroti fokus badan tersebut yang hanya sebatas pada sembilan bahan pokok, sehingga berseberangan dengan prinsip kedaulatan yang menempatkan keberagaman dan lokalitas pangan.

Selain itu, pada saat ini tengah disusun sistem pangan nasional yang menerapkan regionalisasi yang artinya mendorong keragaman. "Bagaimana nasib pangan lokal di luar yang disebutkan," paparnya.

Sebelumnya, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Kementan, Bambang Sugiharto, mengatakan impor cabai sebesar 27.851 ton sepanjang semester I-2021 dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri. Cabai diimpor dalam bentuk cabai kering, cabai dihancurkan atau ditumbuk dan bukan cabai segar konsumsi.

Pakar Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, berharap Badan Pangan segera menjalankan tugas, terutama dalam rangka membangun ketahanan dan kemandirian pangan.

"Badan Pangan diharapkan segera mengoordinasi kementerian terkait pangan, segera menyatukan data agar tidak dijadikan kesempatan bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan di atas kebutuhan dasar ini. Saat ini, data yang digunakan Kementerian Pertanian berbeda dengan yang dipakai Kementerian Perdagangan, maka perlu segera berkoordinasi untuk mengatur kementerian-kementerian itu, seperti soal ketersediaan, aksesibilitas, pemerataan, keamanan, dan lainnya. Jangan sampai ada lagi komoditas di pasaran yang langka karena permainan oknum-oknum. Karena keadaan semacam itu yang dirugikan adalah masyakarat," tuturnya.

Baca Juga: