Kebutuhan terhadap energi semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah peduduk. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kebutuhan energi yang berasal dari minyak pada 2050 mencapai 3,9 juta barel per hari (bph) atau meningkat 139 persen dari saat ini, sementara untuk gas mencapai 26.112 million standar kaki cubic per day (MMSCFD) atau melonjak 298 persen dari sekarang.
Di sisi lain, kita berhadapan dengan fakta terus menurunnya produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional. Sejak 2004, RI menjadi net importir, berbanding terbalik dengan kondisi pada 1970-1980-an ketika Indonesia masih menjadi eksportir. Saat itu, sekitar 80 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) ditopang oleh ekspor migas.
Pada 2020, lifting minyak nasional hanya 707 ribu bph, sementara konsumsi mencapai 1,06 juta bph. Artinya, lebih dari separuh kebutuhan dipasok dari impor. Ini tentunya menambah beban negara di saat energi APBN terkuras untuk menghadapi pagebluk pandemi Covid-19. Selama tujuh tahun terakhir misalnya defisit karena impor bahan bakar ini mencapai 6 milliar dollar AS. Angka yang tak sedikit.
Berangkat dari itu, transisi energi harus dipercepat. Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti menegaskan negara perlu melakukan perubahan radikal untuk mencegah semakin terbebaninya APBN untuk jangka panjang. Caranya, kurangi impor minyak, dan secepatnya beralih ke energi bersih.
Langkah pemerintah melalui mandatori program pencampuran 30 persen Biodiesel dan 70 persen minyak solar (B30) telah memberi banyak penghematan. Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga semester 1 tahun 2021 dari volume biodiesel yang disalurkan sebesar 4,3 juta kilo liter (KL) atau 46,7 persen dari target penyaluran tahun 2021 telah memberi manfaat ekonomi senilai 29,9 trilliun rupiah.
Rinciannya, penghematan devisa sebesar 24,6 trilliun rupiah dan nilai tambah crude palm oil (CPO) menjadi biodiesel sebesar 5,3 trilliun rupiah. Berdasarkan perkiraan Aprobi (Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia) program B30 tahun ini bisa menghemat 3,8 milliar dollar AS. Angka itu lebih tinggi dari tahun lalu yang penghematannya masih sebesar 2,73 millliar dollar AS atau 40 trilliun rupiah. Nilai penghematan bakal lebih tinggi lagi apabila mandatori B40 diteken.
Ekonomi Pekebun Kecil
Manfaat ekonomi dari B30 ini juga kiranya tidak hanya dari kaca mata APBN, tetapi juga di tingkat bawah. Karena itu perlu dibuatkan road map agar pemasok untuk bahan baku B30 ini bersumber dari pekebun kecil. Perlu dibikin aturan agar pabrik yang menyuplai kebutuhan B30 ialah yang bermitra langsung dengan petani.
Kiranya ini menjadi perhatian pemerintah bersama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), bagaimana penerapan sustainable development goals (SDGs) itu pada aspek ekonomi-kesejahteraan.
Maksudnya, biar sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, manfaatnya tidak hanya dari sisi ekonomi dan lingkungan tetapi juga bagi kesejahteraan orang kecil. Karena ekonomi itu harus berkeadilan tidak hanya untuk orang besar.