Pola konsumsi CPO di dalam negeri berubah sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel yang mendapatkan insentif.

JAKARTA - Kebijakan pemerintah Biodiesel 20 (B20) ternyata menimbulkan masalah baru. Program B20 mewajibkan pencampuran 20 persen minyak sawit dengan 80 persen bahan bakar minyak (BBM) jenis solar.

Program tersebut mendorong industri sawit justru lebih memilih memasok produknya untuk B20 ketimbang kebutuhan pokok masyarakat, terutama minyak goreng. Adanya kucuran subsidi untuk program B20 membuat suplai untuk pabrik minyak goreng dikurangi karena tak ada insentif.

Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, mengingatkan kenaikan harga minyak goreng saat ini disebabkan pergeseran besar dalam konsumsi minyak sawit atau crude palm oil (CPO) di dalam negeri. Di masa lalu, terang dia, pengguna CPO yang sangat dominan di dalam negeri adalah industri pangan, termasuk minyak goreng.

Namun, sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik. Peningkatan tajam terjadi pada 2020 dengan diterapkannya program B20.

"Akibatnya, konsumsi CPO untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020 atau kenaikan sebesar 24 persen," ucapnya dikutip dari blog resmi Faisal Basri, di Jakarta, Senin (7/2).

Sebaliknya, lanjut Faisal, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 menjadi 8,42 juta ton pada 2020. Pola konsumsi CPO dalam negeri seperti itu terus berlanjut pada 2021 dan diperkirakan porsi untuk biodiesel akan terus meningkat sejalan peningkatan porsinya dalam biodiesel lewat program B30 atau bahkan lebih tinggi lagi.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan, pada 2022, porsi CPO untuk industri biodiesel akan mencapai sekitar 43 persen dari konsumsi CPO dalam negeri. Padahal, pada 2019 masih sekitar 37 persen. Menurut Gapki, dalam 1-2 tahun ke depan, porsi untuk biodiesel diperkirakan melampaui porsi untuk industri pangan.

"Tentu saja, pengusaha lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaan biodiesel tidak bakal merugi karena ada kucuran subsidi jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional. Sedangkan jika dijual ke pabrik minyak goreng, tidak ada insentif seperti itu. Hingga kini, sudah puluhan triliun mengalir subsidi ke pabrik biodiesel dari dana sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)," jelas Faisal.

Hal senada disampaikan Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng. Dia menegaskan akibat program biodiesel, PT Pertamina (Persero) harus berebut dengan masyarakat. BUMN Migas itu membutuhkan jaminan pasokan minyak sawit untuk dicampur dengan solar, sementara masyarakat membutuhkan minyak goreng untuk kebutuhan harian.

Transisi Gagal

Dia menegaskan, Eropa melalui duta besarnya baru-baru ini mengatakan solarisasi sawit oleh Indonesia bukan merupakan agenda transisi energi. "Jadi, dengan demikian solarisasi sawit akan membawa Indonesia pada kegagalan melakukan transisi energi dan melanjutkan kerusakan hutan di Indonesia," paparnya.

Harga minyak goreng akan terus melambung tinggi karena pengusaha sawit akan mengejar pasar ekspor yang harganya saat ini sangat tinggi dan memilih pasar Pertamina yang pasarnya lebih pasti daripada pasar minyak goreng untuk masyarakat.

Baca Juga: