Pola lama belanja yang dikebut pada akhir tahun akan cenderung asal-asalan dan rentan terhadap penyelewengan.
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu mengawasi secara ketat penyerapan anggaran sebesar 1.200 triliun rupiah di sisa tahun ini. Pemanfaatan anggaran di dua bulan terakhir pada 2022 rawan diselewengkan oleh kementerian/ lembaga terkait.
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, menilai pola belanja pemerintah dari tahun ke tahun memang seperti ini. "Baru dikebut pada akhir tahun, sehingga sangat rawan diselewengkan. Saya minta BPK dan KPK awasi ini secara ketat," tegasnya pada Koran Jakarta, Rabu (2/11).
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, pada sisa akhir 2022, dari pagu belanja negara di dalam Perpres 98/2022 sebesar 3.106,4 triliun rupiah, pemerintah baru merealisasikan belanja sebesar 1.913,9 triliun rupiah atau baru terserap 61,6 persen hingga 30 September 2022. Artinya masih ada 1.192,5 triliun rupiah yang belum diserap atau dibelanjakan.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sebelumnya mengatakan daftar belanja negara ada 3.000 triliun rupiah. "Kalau itu dieksekusi semuanya, itu masih ada 1.200 triliun rupiah yang akan di-spend (dibelanjakan) dalam dua bulan ke depan. That's really big money," jelasnya dalam seminar yang diselenggarakan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, beberapa waktu lalu.
Anggota Komisi XI DPR RI, Marinus Gea, menegaskan anggaran yang belum terserap itu akan memaksa semua kementerian/lembaga (K/L) untuk membelanjakan untuk urusan yang tidak karu-karuan.
"Artinya, memberikan ruang yang besar untuk dikorupsi uang itu. Bayangkan anggaran 1.200 triliun rupiah. Sembilan bulan saja mereka (pemerintah) menghabiskan 1.900 triliun rupiah sejak Januari hingga September. Tapi, 1.200 triliun rupiah itu hanya dalam tiga bulan kan bagaimana mau menyelesaikan itu," tegas Marinus dikutip dari laman resmi DPR RI.
Karena itu, Marinus menegaskan dirinya menangkap sinyal bahwa upaya penyerapan anggaran yang hanya dalam kurun waktu sesingkat-singkatnya itu berpotensi disalahgunakan. Karena itu, dia menilai dengan adanya pendampingan dari BPK maupun KPK, dapat lebih tepat guna dalam pembelanjaan anggaran tersebut.
"Ini sudah November, itu satu bulan. Katakanlah dihabiskan sampai 15 Desember karena setelah itu tutup buku. Berarti kan praktis menghabiskan anggaran hanya satu bulan. Ya menurut orang yang tidak sekolah pun bingung bagaimana menghabiskan uang itu," tegasnya.
Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhammad Misbakhun, meminta Menkeu menjelaskan secara komprehensif perihal sisa anggaran 1.200 triliun rupiah yang harus dihabiskan dalam waktu dua bulan atau hingga 2022. Sebab, jika hanya mengeluarkan angka saja, hal tersebut dapat misleading, seolah-olah anggaran tak terserap karena tinggal dua bulan.
"Sementara APBN kita totalnya 2.700 triliun rupiah. Kalau 1.200 triliun rupiah itu belum diserap, ini kan jumlah yang sangat besar. Maka, harus hati-hati disampaikan yang bisa jadi belum dianggarkan, dalam proses, atau memang sama sekali belum ada penyerapan. Itu yang harus diklarifikasi oleh pemerintah," tegas Misbakhun.
Secara teknis anggaran, Menkeu harus menjelaskan apakah serapan anggaran yang belum optimal tersebut apakah karena proyeknya belum selesai, belum dibayar, atau proyeknya sudah ada, namun belum ditenderkan.
Masalah Implementasi
Di sisi lain, Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR itu tidak mempersoalkan siklus anggaran yang selalu dioptimalkan di semester kedua tiap tahunnya. Sebab, siklus anggaran terbagi menjadi dua, yaitu siklus perencanaan dan siklus realisasi.
"Bahkan, untuk perencanaan pembiayaan anggaran sudah bisa pre-loading, atau pembiayaan pada awal November tahun sebelumnya," ujarnya.