Tewasnya seorang bocah asal Indonesia, Hatf Saiful Rasul berusia 12 tahun yang turut bertempur untuk Islamic State (ISIS) menyita perhatian media. Meskipun kematian Hatf bukan baru terjadi, tetapi setahun lalu. Informasi pada kanal Telegram milik ISIS menyebutkan Hatf tewas akibat serangan udara pasukan Suriah di kota Jarabulus, Suriah, 1 September 2016 --dua bulan setelah genap berumur 13 tahun.Kenyataan ini meyakinkan banyak pihak bawah ISIS memang merekrut anak-anak untuk ikut bertempur dan kerap menjadi tameng.

Hatf Saiful Rasul hanyalah satu dari puluhan atau mungkin ratusan bocah dari berbagai negara yang direkrut ISIS. Dalam beberapa peristiwa yang direkam dan dipublikasi ISIS, pejuang cilik dimanfaatkan untuk melakukan tindakan kekerasan bahkan pembunuh sandera. Sedari awal anak-anak yang direkrut sudah dilatih untuk melakukan teror dan tindakan keji.

Selain soal Hatf Saiful Rasul, publik di Tanah Air diinformasikan banyaknya para mantan ISIS asal Indonesia yang kembali ke Tanah Air. Bahkan, sebuah stasiun televisi swasta, pekan lalu menayangkan wawancara khusus dengan para alumni ISIS. Dari tayangan itu, kita mendengar dan melihat pengakuan para mantan ISIS yang disimpulkan; mereka menyesal bergabung dengan ISIS, sebab apa yang dijanjikan dan dikampanyekan di media sosial, semunya bohong belaka. Mereka para alumni ISIS merasa tertipu. Ironisnya, para wanita di kamp-kamp ISIS dijadikan budak seks pejuang ISIS.

Keberadaan para alumni ISIS yang kembali bersamaan makin terdesaknya basis-basis kekuatan ISIS di Iraq dan Suriah, juga menimbulkan polemik. Prokontra menyangkut kekhawatiran mereka akan meyebarkan paham radikal memengaruhi masyarakat untuk mengikuti paham ke-Islaman model ISIS. Sementara yang lain berpandangan, mereka yang sudah kembali ke Indonesia harus diakomodasi dan dijadikan model untuk gerakan deradikalisasi. Sebab mereka bisa bercerita bagaimana pejuang ISIS melakukan kebohongan-kebohongan dengan dalih perjuangan Islam.

Sebagai informasi, menurut data Kementerian Dalam Negeri Turki seperti dilansir News.com.au, Sabtu (15/7/2017), dari total 4.957 militan asing ISIS yang ditangkap di Turki, sejak 2015 sampai 2017, warga Rusia adalah yang terbanyak di dunia, yakni 804 orang, diikuti oleh warga Indonesia yang berjumlah 435 orang.Yang sangat mengejutkan dari jumlah tersebut adalah banyaknya anak-anak dan wanita dari Indonesia yang turut bergabung dengan kelompok militan ISIS di Suriah.

Persoalan yang kini dihadapi Pemerintah adalah bagaimana menghadapi para lumni ISIS yang kembali ke Tanah Air. Karena, aparat penegak hukum masih terkendala kebijakan dalam undang-undang.Kebijakan itu tentang memproses mereka secara hukum meski mereka terlibat dalam gerakan teroris ISIS di Suriah dan berpotensi melakukan teror di tanah air. Jalan tengah yang diusulkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo adalah telah meminta pemerintah daerah untuk ikut memantau warga negara Indonesia yang kembali dari Suriah.Permintaan Tjahjo sekaligus menindaklanjuti permintaan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Polisi Suhardi Alius kepada pemda agar membantu mengoptimalkan pencegahan aksi-aksi terorisme di daerah.

Menurut kita, memang ada dilema dalam menghadapi kepulangan mantan ISIS dari Suriah dan Iraq. Di satu sisi mereka sudah sadar dan kembali ke Indonesia, di lain pihak, paham dan pengalaman mereka bukan tidak mungkin menjadi benih untuk menyebarkan paham-paham radikal. Karena itu kita menyarankan agar pengawasan terhadap pergerakan dan aktivitas para alumni ISIS benar-benar diawasi .

Yang terbaik adalah selain mengawasi, juga memanfaatkan para alumni ini untuk kepentingan proses deradikalisasi kelompok-kelompok radikal yang selama ini sedang dan akan terus ditangani baik oleh BNPT maupun institusi lain. Pemerintah harus mampu memanfaatkan mereka, sebab dari pengalaman dan penderitaan mereka di bawah ISIS, diharapkan memengaruhi kelompok lain yang belum pernah berjuang di luar dan hanya mengandalkan informasi dari media sosial.

Baca Juga: