JAKARTA - Banyak orang ingin terlihat awet muda dengan suntik dengan melakukan terapi estetik anti kerutan atau anti keriput terutama di bagian wajah. Dengan cara injeksi pasien disuntik dengan botulinum neurotoxin A atau Botulinum Toxin A (BoNT-A).

Penggunaan suntikan ini tidak bisa berlangsung lama atau hanya sekitar 6 bulan. Oleh karenanya untuk mendapatkan hasil serupa perlu diulang, frekuensinya diperpendek menjadi 3-4 bulan. Pasien seperti ini disebut sebagai secondary non-responders.

Namun penggunaan anti-keriput Botulinum Toxin A (BoNT-A) dalam terapi estetika berkepanjangan ternyata berdampak buruk bagi kesehatan tubuh. Efek buruk paling nyata adalah kondisi imunoresistensi atau NAb-induced secondary nonresponse (SNR) atau NAb-SNR.

Imunogenisitas adalah kemampuan suatu substansi (seperti antigen atau epitope) dalam memicu respons imun dari tubuh manusia atau hewan lainnya. Dalam kata lain, imunogenisitas adalah kemampuan untuk memicu respons imun humoral dan atau dimediasi sel.

Dampak buruk tersebut artinya anti-keriput yang diinjeksikan tidak lagi merespons secara efektif, efeknya tidak sebaik injeksi pertama. Ini membahayakan, karena jika suatu saat membutuhkan terapi injeksi BoNT-A untuk kondisi penyakit serius, terapi jadi tidak efektif lagi.

Menurut sebuah studi riset konsumen yang dilakukan oleh Merz Aesthetics® dalam kemitraan dengan Frost & Sullivan masing-masing pada tahun 2018 dan 2021, lebih banyak responden yang melaporkan penurunan kemanjuran perawatan BoNT-A (69 persen pada 2018 dibandingkan dengan 79 persen pada 2021).

Minimalkan Risiko

Direktur The Specialists Lasers, Aesthetic & Plastic Surgery, Hong Kong Dr. Wilson Ho, Plastic Surgeon, penggunaan BoNT-A sangat murni dianggap bisa meminimalkan risiko pembentukan NAb. Terapi BoNT-A sering kali dilakukan seumur hidup oleh karenanya dokter bijaksana untuk menghindari dampak buruk bagi pasien.

"Kami setuju bahwa menggunakan formulasi BoNT-A yang sangat murni dengan risiko imunogenik terendah untuk meminimalkan risiko pembentukan NAb akan menjadi keputusan klinis yang bijaksana," kata dia dalam konferensi pers virtual Kamis (29/9).

Dia mengimbau kepada para ahli untuk lebih bijaksana dalam memberikan suntikan anti-keriput kepada pasien. Apalagi jika pasien punya riwayat perawatan seperti perawatan BoNT-A ekstensif. Tidak hanya itu, diharapkan juga para praktisi mempertimbangkan implikasi dari pilihan perawatan tertentu sepanjang riwayat medis pasien.

"Dari perspektif klinis, memakai formulasi BoNT-A yang sangat murni dan memberikan ke pasien dalam dosis efektif minimum, dengan interval yang tepat bisa membantu membatasi perkembangan kekebalan," lanjutnya.

Tambah Dosis

Menurut Konsultan Dermato-venereologist dari Universitas Indonesia dr Lis Surachmiati Suseno, menghindari risiko Nab perlu dilakukan. Karenanya biasanya untuk mengatasi penurunan kemanjuran tersebut dilakukan dengan menambah dosis dan frekuensi yang ditingkatkan.

Bagi aid BoNT-A adalah obat penting yang telah dan masih digunakan secara global selama lebih dari 3 dekade, termasuk di Indonesia. Penggunaan BoNT-A sendiri tidak hanya untuk tujuan dermatologis dan kosmetik estetika semata, tapi juga dibutuhkan pada indikasi medis tertentu.

"Namun hasil injeksi BoNT-A tidak bertahan lama. Biasanya bertahan 6 sampai 9 bulan, kalau sudah resisten, kerutan bisa kembali muncul dalam 3 sampai 4 bulan saja. Kalau sudah begini, pasien sudah dikatakan mengalami NAb- SNR," papar dr. Lis

Ketika pasien sudah didiagnosis dengan SNR, maka terapi BoNT-A jadi tidak lagi efektif. Oleh karenanya ia mengedukasi masyarakat agar lebih bijak untuk tidak berlebihan melakukan injeksi BoNT-A. Para praktisi pun dihimbau untuk berhati-hati saat menaikkan dosis BoNT-A ketika hasil injeksi tidak lagi memperlihatkan efektivitas seperti injeksi pertama.

Baca Juga: