Oleh Irma Suryani

Kekerasan terhadap anak-anak negeri ini bukan saja dilakukan orang dewasa, tetapi juga oleh anak-anak itu sendiri. Guru, orang tua, serta media, khususnya televisi, perlu terus berupaya untuk selalu memberi contoh-contoh perilaku nonkekerasan, sehingga anak-anak tidak semakin akrab dengan budaya tersebut.

Aksi pengeroyokan yang dialami Audrey, murid salah satu SMP di Pontianak, Kalimantan Barat, baru-baru ini, telah mengundang keprihatinan dan kegeraman publik. Tak kurang dari Presiden Joko Widodo mengungkapkan keprihatinannya. "Ya, kita semuanya sedih. Kita semuanya berduka atas peristiwa itu. Tapi, yang jelas, ini pasti ada sesuatu masalah yang berkaitan dengan pola interaksi sosial di antara masyarakat yang sudah berubah lewat media sosial," demikian ungkap Presiden Joko Widodo.

Sebagaimana luas diberitakan media, kasus kekerasan terhadap Audrey berawal dari masalah asmara remaja dan adu komentar di jejaring media sosial. Tindak kekerasan dilakukan sekelompok siswi SMA yang juga disaksikan beberapa siswi lainnya. Awalnya, korban berupaya menutupi kekerasan yang dialami karena mendapat ancaman dari para pelaku.

amun, akhirnya kasus ini terekspos ke publik setelah salah seroang kawan korban memviralkan peristiwa kekerasan tersebut. Buntutnya, muncul petisi online dengan tagar #JusticeForAudrey dan sekaligus menjadi trending topic nomor satu di time line Twitter seluruh dunia.

Yang menimpa Audrey menambah panjang kasus kekerasan yang melibatkan anak-anak. Sebelumnya, di Jakarta Pusat, sempat pula terjadi kasus seorang siswa SMP Thamrin City, Tanah Abang, dianiaya sejumlah siswa. Yang lebih tragis, di Jakarta Timur, seorang siswa kelas V SD akhirnya tewas setelah dikeroyok teman-teman sekelas.

Berdasar catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), laporan terkait kekerasan anak terus meningkat. Menurut KPAI, jumlah anak yang menjadi korban kekerasan pada tahun 2018 lalu mencapai 766. Angka ini naik dari tahun sebelumnya berjumlah 552. Dari jumlah tersebut, ada 107 anak yang harus berhadapan dengan hukum sebagai pelaku kekerasan fisik berupa penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian.

Tentu, ini membuat prihatin. Anak-anak kini malah menjadi pelaku utama kekerasan yang memang bisa dilakukan siapa saja. Namun, kekerasan yang dilakukan anak-anak yang merupakan calon penerus bangsa, tentu sangat mencemaskan. Akan seperti apa jadinya bangsa ini apabila generasi penerusnya akrab dengan kekerasan. Budaya kekerasan semestinya dijauhkan dari anak-anak. Kekerasan, sekecil apa pun, akan berdampak psikologis dan kemungkinan besar bakal ikut memengarungi sikap dan perilaku hingga mereka dewasa.

Pihak yang paling bertanggung jawab yang menyebabkan anak-anak semakin akrab dengan budaya kekerasan adalah orangtua, guru, dan pengelola media. Tidak bisa dimungkiri, hingga sekarang masih banyak guru secara sadar atau tidak menanamkan benih-benih kekerasan kepada anak-anak. Hal itu antara lain berupa kekerasan verbal dan fisik. Tidak sedikit guru masih suka mengumbar bentakan, makian, atau hardikan kepada siswa-siswa.

Tidak sedikit juga guru yang masih memilih untuk memberi hukuman fisik dengan dalih menegakkan disiplin serta aturan sekolah. Padahal, di sejumlah negara, hukuman fisik telah lama dihilangkan dari sekolah. Para guru dilarang sama sekali memberikan hukuman fisik, apa pun alasannya, kepada para siswanya. Karena, bagaimanapun, tugas sekolah dan para guru bukan untuk menghukum anak, tetapi justru untuk mendidik. Mendidik tidak harus dengan hukuman.

Bertanggung Jawab

Kajian selama 30 tahun yang dilakukan antara lain oleh Murray Straus dari Universitas New Hamspshire dan Joan Durrant serta Susan Wingert dari Universitas Manitoba, Amerika Serikat, atas penerapan hukuman fisik kepada siswa menghasilkan kesimpulan, hukuman fisik justru kian meningkatkan tindakan agresif. Anak-anak menjadi berperilaku antisosial.

Selain guru, pengelola media, khususnya televisi adalah pihak yang juga harus ikut bertanggung jawab atas semakin merajalelanya kekerasan di kalangan anak-anak. Tidak ada yang bisa membantah bahwa stasiun-stasiun televisi sarat tayangan-tayangan kekerasan. Tentu saja, tayangan-tayangan itu berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter dan perilaku anak-anak. Anak-anak sangat mudah meniru yang dilihat dan dengar. Maka, tayangan-tayangan televisi yang berisi adegan-adegan kekerasan bakal dengan mudah pula diimitasi dan dipraktikkan anak-anak dalam dunia nyata.

Yang juga ikut semakin memudahkan menyebarnya virus kekerasan di kalangan anak yaitu kecenderungan makin sibuknya para ibu. Hidup di sekarang yang hampir semuanya diukur kecukupan materi, telah membuat tidak sedikit kaum ibu lebih sibuk ikut mengejar dan ikut mengurusi kebutuhan materi keluarga. Salah satunya dengan bekerja di luar rumah. Akibatnya, mereka tidak punya cukup waktu mengasuh dan mendidik anak-anak sendiri di usia emas.

Pengasuhan dan pendidikan anak di rentang usia emas lantas cukup diserahkan kepada pihak lain. Akibatnya, anak pun kehilangan panutan ideal yang mampu memberi teladan berperilaku. Anak kemudian lebih cenderung mengambil contoh dan teladan dari pihak-pihak lain. Di antaranya, tetangga, pembantu, kawan bermain, atau tayangan-tayangan televisi. Celakanya, kebanyakan anak meniru contoh buruk dan tidak benar.

Sudah barang tentu, semua tidak berharap sama sekali anak-anak semakin akrab dengan kultur kekerasan. Maka dari itu, guru, pengelola media, dan orangtua harus selalu memberi teladan perilaku nonkekerasan. Khusus untuk para orangtua, terutama kaum ibu, diharapkan lebih telaten mengasuh dan mendidik anak-anak ketimbang menyerahkan pengasuhan dan pendidikan anak kepada pihak lain.

Anak-anak adalah harapan bangsa. Di pundak merekalah baik dan buruknya nasib bangsa dan negara bakal dipertaruhkan. Maka, guru, pengelola media, dan orangtua senantiasa memberi teladan terbaik.

Penulis pendidik

di Yayasan Alfath Sukabumi

Baca Juga: