Perselisihan teritorial antara Mesir dan Sudan menjadikan Bir Tawil menjadi wilayah tidak bertuan.
Perselisihan teritorial antara Mesir dan Sudan menjadikan Bir Tawil menjadi wilayah tidak bertuan. Keduanya lebih memperebutkan Segitiga Hala'ib yang lebih luas dan memiliki akses lebih jauh ke Laut Merah dibandingkan wilayah gurun yang tandus ini.
Dengan mengklaim Bir Tawil konsekuensinya mereka kehilangan hak untuk mengklaim Segitiga Hala'ib, sebuah wilayah dengan luas 20.580 kilometer persegi. Sementara luas Bir Tawil hanya 2.060 kilometer persegi.
Aturan Inggris menyatakan tidak dapat mengklaim yang satu tanpa melepaskan yang lain. Jika Mesir atau Sudan mengklaim Bir Tawil, maka itu berarti memberi Segitiga Hala'ib yang lebih menarik ke negara lain.
Dibandingkan dengan Bir Tawil, Segitiga Hala'ib jauh lebih menarik secara ekonomi karena wilayah ini kaya akan mineral dan sumber daya alam lepas pantai, serta memiliki populasi permanen sebanyak 27.000 orang.
Daya tariknya telah membuat Mesir dan Sudan mengklaim Segitiga Hala'ib sebagai wilayah mereka, sehingga Bir Tawil tetap tidak diklaim. Meskipun saat ini bendera Mesir berkibar di atas Segitiga Hala'ib, namun Sudan masih menganggapnya sebagai bagian integral dari wilayahnya.
Namun pada tahun 1902, Mesir mengubah batas wilayah di bagian paling timur perbatasan agar lebih mencerminkan jangkauan administratif Kairo dan Khartoum di wilayah tersebut. Menteri Dalam Negeri Mesir, Mustapha Fahmy, mendukung langkah ini agar tidak memisahkan suku Ababda dan Basharya.
Perubahan tersebut menyebabkan pemindahan wilayah di utara garis lintang utara ke-22 yang kemudian dikenal sebagai Segitiga Hala'ib ke Sudan, dan pemindahan wilayah kecil di selatan garis lintang utara ke-22 yang dikenal sebagai Bir Tawil ke Mesir.
Setelah Sudan merdeka pada tahun 1956, Mesir menganggap batas wilayah yang ditetapkan oleh perjanjian tahun 1899 sebagai batas wilayah modern kedua negara. Sementara Sudan menganggap batas wilayah yang ditetapkan oleh perubahan pada tahun 1902 sebagai batas wilayah modern.
Ini berarti bahwa kedua negara mengklaim Segitiga Hala'ib sebagai wilayah mereka sendiri.
Selama beberapa dekade, kedua negara secara efektif memerintah bersama Segitiga Hala'ib. Di sisi lain, Bir Tawil, karena kurangnya sumber daya dan populasi permanennya, sebagian besar tetap diabaikan.
Era pemerintahan bersama berlanjut dengan kepahitan pada tahun 1992 ketika Sudan memberikan hak eksplorasi minyak untuk perairan di lepas pantai Segitiga Hala'ib. Baik Mesir maupun Sudan menggandakan klaim mereka atas wilayah ini.
Pada tahun 1995, Presiden Mesir Hosni Mubarak selamat dari upaya pembunuhan saat dalam perjalanannya untuk menghadiri pertemuan Organisasi Persatuan Afrika di Addis Ababa, Ethiopia. Pemerintah Mesir yakin Sudan terlibat dalam percobaan pembunuhan itu. Sebagai tanggapan, negeri ini mengusir otoritas Sudan dari Segitiga Hala'ib. Hal ini secara otomatis mengakhiri pemerintahan bersama Mesir-Sudan. νhay/I-1