Pemerintah perlu mengatasi sejumlah permasalahan yang menghambat penciptaan swasembada pangan, mulai dari hulu, terutama petani dan lahan, hingga hilir, termasuk mata rantai distribusi.

JAKARTA - Lonjakan harga beras dalam beberapa waktu terakhir menunjukan belum efektifnya peran food estate atau lumbung pangan. Sebab, sejumlah masalah di sektor pertanian belum diselesaikan sehingga membuat produksi cenderung stagnan.

Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan RI pernah mengalami swasembada beras pada era 1980-an. Namun, itu sudah tak bisa tercapai lagi saat ini.

"Sekarang tidak bisa swasembada beras karena penyediaan pupuk kurang, alat sarana prasarana (sarpras) produksi petani kurang, dan tenaga penyuluhan petani kurang," tandas Esther ketika dihubungi Koran Jakarta, Kamis (19/1).

Penyebab lainnya, lanjut Esther, harga gabah di tingkat petani terlampau rendah. Bahkan, banyak petani terjebak sistem ijon guna memenuhi kebutuhan sehari hari. Faktor lainnya ialah nilai tukar petani (NTP) rendah, terlebih saat panen harga anjlok. Tak hanya itu, jalur distribusi beras masih dikuasai segelintir orang.

"Jadi, jika ingin beras bisa diproduksi sendiri, pemerintah harus membereskan masalah-masalah tersebut, bukan dengan food estate," tegas Esther.

Adapun harga beras terus naik. Mengutip laman infopangan.jakarta.go.id, Kamis (19/1), harga beras medium (IR III/IR 64) mencapai 10.405 rupiah per kilogram (kg) atau naik sebesar 202 rupiah per kg dari sehari sebelumnya. Begitu juga harga beras IR II (IR 64) Ramos yang menyentuh 11.125 rupiah per kg atau naik 50 rupiah per kg.

Dalam kesempatan lainnya, Ketua Umum Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Yadi Sofyan Noor, justru mengapresiasi program food estate di Kabupaten Pulang Pisau (Pupis) dan Kabupaten Kapuas di Kalimantan Tengah (Kalteng). Menurutnya, pengembangan kawasan food estate merupakan program yang layak di tengah maraknya alih fungsi lahan di pulau Jawa.

Yadi mengatakan dari sisi produksi kawasan food estate sudah bagus. Pada 2020 sudah dilakukan kegiatan intensifikasi di lahan seluas 30.000 hektar dan telah berhasil meningkatkan produksi sebanyak 49,8 persen dari 2019. Artinya, dari 2019 ke 2020 ada peningkatan produksi.

Pada 2021, intensifikasi pada lahan seluas 14.135 hektar berhasil meningkatkan produksi padi sampai 11,7 persen. Jadi secara agregat, tata produksi padi pada 2020 dari 2021 terjadi peningkatan 120.460 ton gabah kering giling (GKG) menjadi 163.728 ton GKG.

Yadi menambahkan dari data yang dikumpulkan KTNA Nasional, kawasan food estate Kalteng yang sudah didukung jaringan irigasi mencapai 164.598 hektar di antaranya lahan fungsional seluas 85.456 hektar dan nonfungsional seluas 79.142 hektar yang digarap dalam kurun waktu 2021-2022.

Adapun KTNA terlibat dalam proses budi daya tanaman pangan di dua kawasan food estate di Kalteng tersebut. Food estate di Pupis dan Kapuas, menurut Yadi Sofyan Noor adalah sebuah niat visioner dan ikhtiar mulia membangun kawasan pangan terpadu.

Perluasan Lahan

Guru Besar Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Tualar Simarmata, menilai perlunya perluasan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sebab, kebutuhan pangan memang terus meningkat tiap tahun.

"Luas sawah kita saat ini sekitar 7,5 juta hektare. Kalau kita bisa menambah katakanlah 5 juta hektare, dan itu secara bertahap, maka kita sudah pasti bisa menjadi mandiri pangan," kata Tualar.

Namun diakuinya, program food estate ini memang tak bisa dinilai dalam waktu dekat. Karena program ini harus berjalan secara berkelanjutan dan harus terus menerus dilakukan evaluasi.

Baca Juga: