Masalah pangan bukan hanya masalah produksi atau masalah swasembada, melainkan juga masalah kesejahteraan petani.

JAKARTA - Pemerintahan baru diharapkan harus secepatnya mengatasi masalah ketimpangan lahan pertanian akibat gagalnya reforma agraria. Indikasinya, rerata lahan garapan petani Indonesia kurang dari 0,5 hektare, sementara jumlah rumah tangga petani gurem meningkat.

Anggota DPR RI, Johan Rosihan, menyoroti kebijakan tata kelola lahan pertanian yang lebih berpihak kepada petani. "Pemerintah harus memastikan penguasaan lahan pertanian produktif dimiliki dan dikelola oleh petani, serta harus ada dukungan dari pemerintah terhadap komoditas tanaman pangan yang memberi dampak pada peningkatan kesejahteraan petani," ucapnya dikutip dari laman resmi DPR RI, Senin (21/10).

Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, berharap pemerintahan baru serius mengatasi masalah terkait lahan petani. Sebab, pelaksanaannya gagal diterapkan di Indonesia.

Padahal reforma agraria sebagai perlindungan dan pemenuhan hak atas tanah bagi petani di Indonesia. "Bagi petani, jaminan hak atas tanah adalah yang utama. Kondisi Indonesia saat ini kita melihat bagaimana jumlah petani gurem meningkat," tegasnya.

Data dari Sensus Pertanian 2024 menyebut jumlah rumah tangga usaha petani gurem pada 2023 adalah 16,8 juta, meningkat dari sebelumnya 14,2 juta pada 2013. "Bagaimana kita mau memastikan produksi cukup, kalau ternyata hak petani atas tanah dan luasan yang layak masih belum terpenuhi?" ujar Henry.

Dia menekankan, seharusnya hak atas tanah bagi petani dan produsen pangan skala kecil lainnya bisa diatasi kalau reforma agraria dijalankan secara sungguh-sungguh. Melalui redistribusi tanah dan bantuan terhadap pengelolaan pascaredistribusi, para petani dapat memproduksi pangan dengan baik.

"Tetapi kenyataannya, reforma agraria tidak berjalan, bahkan konflik agraria dan perampasan tanah terhadap tanah-tanah pertanian produktif terjadi di beberapa titik di Indonesia," tambahnya.

Anggota DPR RI, Slamet, berharap pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 mengevaluasi kebijakan lumbung pangan atau food estate. Menurut Slamet, pemerintah perlu banyak melakukan kajian dan evaluasi terkait program tersebut.

"Terkait food estate harus dievaluasi banyak. Tinggal masalah konsep food estate yang kemudian perlu diperbaiki. Bahwa kalau food estate yang dimaksud adalah produknya kemudian dikategorisasi itu menjadi sesuatu yang sangat penting," ucapnya.

Politisi Fraksi PKS ini pun menilai konsep food estate yang sudah diterapkan sebelumnya terbukti tidak bisa mendukung ketahanan pangan Indonesia sehingga perlu ada evaluasi yang komprehensif.

Masalah Utama

Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan, menilai masalah pangan bukan hanya masalah produksi atau masalah swasembada, melainkan juga masalah kesejahteraan petani.

"Artinya, masalah utama pangan adalah bagaimana meningkatkan produksi pangan, yang sekaligus juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Faktor terakhir ini, kesejahteraan petani, bahkan jauh lebih penting dan harus menjadi prioritas utama," tegas Anthony.

Adapun proyek "cetak sawah" food estate, papar Anthony, yang akan menelan dana APBN puluhan triliun rupiah, tidak bisa memenuhi kedua tujuan di atas secara bersamaan.

Sebaliknya, proyek food estate (kemungkinan besar) akan membuat pendapatan dan kesejahteraan petani turun. Alasannya, karena program food estate menciptakan dua klaster produksi padi dengan karakteristik sangat berbeda, dilakukan oleh dua "pelaku usaha" yang juga berbeda.

Baca Juga: