Apabila tingkat kesejahteraan petani perdesaan tak segera ditangani, hal itu dapat berdampak terhadap produktivitas pertanian dan regenerasi petani muda.

JAKARTA - Produsen pangan berharap pemerintah membantu mengurai masalah kemiskinan di desa lantaran petani banyak tinggal di perdesaan. Apabila kesejahteraan mereka tak diperhatikan, produksi pertanian dapat terganggu, terlebih di tengah ancaman krisis pangan global.

Ketua Umum Serikat Petania Indonesia (SPI), Henry Saragi, menyebut perdesaan menjadi wilayah dengan tingkat kemiskinan terbanyak.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, per Maret 2022, jumlah penduduk miskin di Indonesia berjumlah 26,16 juta jiwa atau sekitar 9,54 persen dari total penduduk dengan rincian 14,34 juta orang di perdesaan dan 11,82 juta orang di perkotaan.

"Situasi pedesaan tempat bermukimnya para petani penegak kedaulatan pangan tersebut tentu sangat mengkhawatirkan dan memicu krisis pangan dan lanjut ekonomi di perkotaan," tegasnya pada Koran Jakarta, Minggu (16/10).

Faktanya, lanjut Henry, nilai tukar petani (NTP) yang dijadikan patokan kesejahteraan petani dan daya beli pada 2022 belum memuaskan, fluktuatif, dan cenderung turun. Berkaca dari laporan BPS, selama September terjadi kenaikan biaya yang dikeluarkan oleh petani (Ib) di seluruh subsektor NTP.

"Tanpa adanya perbaikan kebijakan, tentu hal ini semakin membebani para petani di Indonesia, karena sebelum kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), biaya produksi yang dikeluarkan pertanian konvensional trennya sudah meningkat," paparnya.

Hal tersebut tentu akan berpengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat yang sebelumnya sudah didera oleh Covid-19 selama 2020-2021. Dampak pandemi juga sempat mengakibatkan kenaikan angka kemiskinan pada 2020 dan perlahan-lahan turun hingga Maret 2022.

Setiap 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS) oleh masyarakat dunia. Tahun ini, peringatan HPS dibayangi ancaman krisis pangan. Kekhawatiran krisis pangan bersumber dari catatan Badan Pangan Dunia (FAO) terkait kenaikan harga pangan global. Secara umum indeks harga pangan Januari - Oktober tersebut, lebih tinggi dari indeks harga pada 2021 dan 2022.

Krisis pangan juga diindikasikan dengan jumlah angka kelaparan, yakni Global Report on Food Crisis (GRFC) dan SOFI. Secara global, menurut GRFC 2022, tingkat kelaparan tetap mengkhawatirkan seperti pada 2021, sekitar 193 juta orang sangat rawan pangan dan membutuhkan bantuan mendesak di 53 negara.

Laporan SOFI pada 2022 mencatat angka kelaparan penduduk dunia mencapai 828 juta orang pada 2021. Angka tersebut meningkat 46 juta orang dibandingkan 2020 (782 juta orang) dan meningkat 150 juta orang dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Dengan data terakhir ini, PBB memprediksi jumlah angka kelaparan pada 2030 menembus 670 juta orang atau di atas target program zero hunger.

Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi SPI, Muhammad Qomarunnajmi mendesak petani sebagai produsen pangan harus dilindungi agar bisa berkontribusi mengatasi masalah pangan global.

Salah satunya melalui jaminan harga seiring peningkatan biaya produksi akibat kenaikan harga pupuk dan bahan bakar minyak (BBM).

Tren Naik

Qomar mengakui dalam beberapa bulan terakhir tren harga gabah dan juga beras memang naik. Pada awal bulan ini, gabah sebesar 5.500 rupiah per kilogram (kg).

"Meskipun dihitung ada keuntungan petani, tetapi di sisi lain ada kenaikan biaya produksi juga dari kenaikan harga pupuk dan BBM, sehinhga masih belum cukup menguntungkan untuk petani," pungkasnya.

Terkait ancaman krisis pangan ini, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di Jakarta, Minggu (16/10), meminta seluruh stakeholder terkait, untuk saling mendukung, mulai dari hulu hingga hilir untuk menciptakan ekosistem pertanian baik. Hal itu dimaksudkan gar petani nyaman berproduksi.

Baca Juga: