Bangsa Asyur yang merdeka dari bangsa Sumeria dan tinggal di Irak utara, merupakan penguasa Timur Tengah di masa kuno. Ketika wilayahnya mencapai Mediterania, bangsa ini harus berperang dengan para penguasa di wilayah itu.
Bangsa Asyur atau Asiria merupakan masyarakat yang telah tinggal di Timur Tengah sejak zaman kuno. Bangsa ini terkenal karena kerajaan kuno mereka yang luas dengan kota-kota kuno seperti Nimrud dan Niniwe (yang berada di sekitar Mosul saat ini) serta invasi sengit mereka termasuk ke Kerajaan Yehuda dan Mesir.
Pada zaman kuno, peradaban Asyur sering berpusat di Kota Asyur yang reruntuhan kotanya terletak di tempat yang sekarang disebut Irak utara. Wilayah yang dikuasai bangsa ini sangat luas, membentang dari Irak selatan ke pantai Mediterania pada puncak peradaban pada abad ketujuh SM.
Bangsa Asyur adalah salah satu kelompok etnoreligius asli Timur Tengah. Sebagian besar orang Asyur berbicara suatu bahasa Neo-Aram, yang pembagiannya termasuk bahasa Neo-Aram Timur Laut, Tengah, dan Barat, serta bahasa lainnya, tergantung pada negara domisili. Orang Asyur diturunkan dari salah satu peradaban tertua di dunia bertarikh 2500 SM di Mesopotamia kuno.
Sebelum Kota Asyur memperoleh kemerdekaannya sekitar 4.000 tahun yang lalu, bangsa ini dikuasai oleh orang yang dikenal sebagai bangsa Sumeria. Bangsa memiliki peradaban campuran dalam masalah politik, militer, dan lingkungan yang menurun ke bangsa Asyur.
Menurut Klaas Veenhof, seorang profesor emeritus Asyur di Universitas Leiden dalam sebuah makalah yang diterbitkan dalam buku A Companion to Assyria (Wiley Blackwell, 2017), menyatakan dalam dua abad pertama setelah kemerdekaan Asyur adalah kota yang berfokus pada perdagangan.
Kota Asyur tidaklah besar. Diperkirakan ukurannya hanya 40 hektare dengan populasi antara 5.000-8000 orang. Hal ini membuat kekuatan militernya tidak cukup kuat untuk melawan bangsa asing, menurut Veenhof.
"Para penguasa awalnya tidak menyebut diri mereka sebagai 'raja' dalam prasasti mereka. Sebaliknya, mereka menyebut diri mereka 'wakil' (sebuah kata untuk mengacu pada arti gubernur) dari Dewa Ashur," tulis Amélie Kuhrt, profesor emeritus sejarah Timur Dekat kuno di University College London.
Bagian dari prasasti yang ditemukan di tangga kuil Asiria berbunyi, "Erishum, wakil Dewa Asyur, putra Ilushuma, membangun seluruh area kuil-kuil Dewa Asyur," menurut terjemahan oleh Albert Kirk Grayson.
Mengapa penguasa awal Asyur menggunakan gelar sederhana (gubernur dari pada raja) adalah misteri yang masih dicoba untuk dipahami oleh para sarjana.
Berdasarkan surat kerajaan dari Ashur-uballit I, raja Asyur, kepada raja Mesir, sekitar tahun 1353 SM - 1336 SM menyatakan bahwa raja Asyur, Ashur-uballit I, mengirim utusan pribadi dan menawarkan hadiah kepada raja Mesir, kemungkinan besar Akhenaten. Ini dilakukan untuk membuka komunikasi dengan negara adidaya utama di wilayah tersebut.
"Penduduk kota berbicara bahasa Asyur, yang merupakan bahasa yang berbeda, meskipun terkait erat dengan bahasa Babilonia, yang digunakan di wilayah selatan Asyur," ucap Karen Radner, ketua Alexander von Humboldt untuk sejarah kuno Timur Dekat dan Timur Tengah di Ludwig Maximilian University of Munich.
Pada sekitar 1800 SM, seorang penguasa bernama Shamshi-Adad I (kadang-kadang dieja Samsi-Adad) mengambil alih Asyur. Dia memasukkan kota itu ke dalam sejumlah besar wilayah yang sudah dikendalikan di tempat yang sekarang disebut Irak dan Suriah.
"Tidak seperti penguasa Asyur sebelumnya, Shamshi-Adad tidak berpura-pura rendah hati, malah memberi dirinya sendiri gelar yang kadang-kadang diterjemahkan oleh para sarjana sebagai 'raja alam semesta'," tulis Albert Grayson, profesor emeritus Assyriology di Universitas Toronto.
Kerajaan Shamshi-Adad tidak bertahan lama. Setelah kematiannya, kerajaan itu runtuh dan kerajaan Ekallatum, Eshnunna, dan Babel semuanya menguasai Asyur di beberapa titik selama periode sekitar 1775 SM.
Sampai 1720 SM, menurut Shigeo Yamada, seorang profesor sejarah di Universitas Tsukuba, dalam makalah yang diterbitkan dalam buku berjudul A Companion to Assyria, menulis bahwa sekitar tahun 1500 SM, Asyur berada di bawah pengaruh yang kuat, jika bukan kontrol, dari sebuah kerajaan bernama Mitanni.
Selama abad ke-14 SM, kerajaan Mitanni mulai memudar, dan mereka yang bertanggung jawab atas Asyur mulai menegaskan kemerdekaan kota. Para sarjana zaman modern sering menyebut periode kemerdekaan Asyur yang baru ditemukan ini sebagai periode Asyur Tengah. "Pada awal periode ini, Asyur-uballit I (yang memerintah dari sekitar 1363 SM hingga 1328 SM) berkuasa di Asyur dan mengklaim kemerdekaan dari Mitanni," kata Stefan Jacob, seorang peneliti di Universitas Heidelberg di Jerman.
Penaklukan Militer
Dalam sebuah surat kepada firaun Mesir, Asyur-uballit I (juga disebut Ashur-uballit I) menyebut dirinya sebagai "saudara" firaun yang mengklaim "status setara dengannya", tulis Jacob. Asyur-uballit I juga berusaha menggunakan penaklukan militer untuk memperluas wilayah yang dikuasainya.
Para penerusnya semakin memperluas wilayah Asyur. Adad-nirari I (yang memerintah dari sekitar 1305 SM sampai 1274 SM) menaklukkan Mitanni, mengambil alih kerajaan yang telah memerintah Asyur satu abad sebelumnya. Dalam teks-teks kuno, Adad-nirari I mengklaim bahwa dia "menabur garam di atas" ibu kota Mittani di Taidu dan memberlakukan kewajiban kerja pada penduduk kota yang selamat.
Dia membangun sebuah istana di atas Taidu dengan mengatakan bahwa dia membangunnya dari atas ke bawah dan meletakkan sebuah prasasti untuk menandai kendalinya atas kota itu. hay/I-1
Perluas Wilayah dengan Kejam
Asyur atau Asiria pernah berkembang pada 6.000 dan berakhir abad ke-10 SM. Periode ini disebut periode Neo-Asyur. Selama waktu ini, wilayah yang dikuasai Asyur mencapai ukuran geografis terbesarnya, membentang dari Mesopotamia wilayah antara Sungai Tigris dan Eufrat hingga Mediterania, sekitar Turki, Suriah, Lebanon, Palestina, hingga Mesir saat ini.
Pada awal periode ini, Asyur telah kehilangan banyak wilayah. "Namun, selangkah demi selangkah, sejumlah raja Asyur yang tegas dan kejam pada akhir abad 10 dan 9 SM berhasil merebut kembali tanah yang hilang dan membangun kembali kekuatan Asyur," kata Eckart Frahm, seorang profesor Asyur di Universitas Yale, dalam bukunya A Companion to Assyria.
Di bawah Ashurnasirpal II (memerintah 883 SM hingga 859 SM), Asyur merebut kembali sebagian besar wilayah yang pernah mereka kuasai, sekali lagi mencapai pantai Mediterania. Ashurnasirpal II juga membangun istana baru di Kota Nimrud (juga dikenal sebagai Kalhu) dan menggunakan kota ini sebagai ibu kota Asyur, tulis Frahm.
Ketika Asyur merangsek jauh ke Barat, masalah sedang terjadi di Timur. Selama abad ketujuh SM, penguasa Asyur memadamkan serangkaian pemberontakan di Babilonia. Sementara itu, sebuah kelompok bernama Medes, yang berbasis di tempat yang sekarang disebut Iran, juga melancarkan serangan terhadap pasukan Asyur.
Di bawah serangan dari dua kelompok, ketika mencoba untuk mempertahankan kepemilikan mereka di Barat, militer Asyur mendapat tekanan. Orang Babilonia menjadi sepenuhnya merdeka pada masa pemerintahan raja Babilonia, Nabopolassar (memerintah sekitar tahun 625 SM sampai 605 SM).
Pada tahun 612 SM, Raja Median Cyaxares (memerintah sekitar 625 SM hingga 585 SM) melancarkan serangan besar ke Niniwe. Usaha ini dihentikan oleh Raja Asyur Sinsharishkun (memerintah sekitar 622 SM 612 SM).
Sebuah prasasti Babilonia mengatakan pertempuran untuk Niniwe berlangsung selama beberapa bulan. "Tiga pertempuran terjadi pada waktu itu, setelah itu Median menyerbu kota itu sendiri. Kota itu jatuh dan dihancurkan oleh tentara Median yang mengubah kota itu menjadi bukit-bukit reruntuhan dan tumpukan puing," menurut prasasti kuno yang diterjemahkan oleh CJ Gadd.
Asyur berperang lebih lanjut, tetapi militer mereka secara bertahap terkuras, dan wilayah mereka dihancurkan atau diambil alih. Tidak jelas apakah Sinsharishkun meninggal di Niniwe atau beberapa saat kemudian dalam pertempuran di masa depan. Pada 600 SM, kerajaan Asyur telah hancur total.
Meskipun banyak kota Asyur hancur atau rusak parah, beberapa Asyur selamat dari kejatuhan. Yang selamat, dan mereka yang turun dari mereka, hidup melalui garis panjang penguasa. Pada periode setelah masa Yesus Kristus, orang Asyur masuk Kristen, agama yang banyak dianut oleh orang Asyur hingga saat ini. hay/I-1