» Asia Tenggara rumah bagi setengah miliar orang dan memiliki PDB sebesar 3 triliun dollar AS.

» Indonesia harus menyusul negara-negara lain menjalankan upaya menuju zero carbon.

SINGAPURA - Perusahaan konsultan Deloitte melaporkan negara-negara di Asia Tenggara akan kehilangan triliunan dollar Amerika Serikat (AS) selama 50 tahun ke depan, jika tidak secara signifikan mengurangi emisi karbon.

"Namun, fakta juga menunjukkan, kawasan ini berada pada titik balik, dan dapat mengubah biaya menjadi peluang," sebut Deloitte dalam laporannya baru-baru ini.

Asia Tenggara kalau meningkatkan upaya perubahan iklim dan mengurangi emisi dengan cepat, dapat mencapai keuntungan ekonomi sebesar 12,5 triliun dollar AS jika dinilai saat ini, dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata 3,5 persen setiap tahun selama 50 tahun ke depan.

"Potensi masa depan ini tidak hanya menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim, tetapi juga menciptakan pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang sejahtera bagi Asia Tenggara dan dunia," kata Deloitte.

Menurut model Deloitte, jika gagal melakukannya, dapat menyebabkan pemanasan global lebih dari 3 derajat Celsius pada 2070. Ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi kawasan senilai sekitar 28 triliun dollar AS untuk valuasi saat ini dalam 50 tahun ke depan, dan mengurangi pertumbuhan PDB rata-rata 7,5 persen setiap tahun pada periode yang sama.

Perusahaan juga menyatakan Asia Tenggara adalah rumah bagi setengah miliar orang dan memiliki produk domestik bruto sebesar tiga triliun dollar AS. Wilayah yang dimaksud yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Vietnam, Timor-Leste dan Thailand, telah mengalami pertumbuhan PDB tahunan rata-rata 5 hingga 12 persen sejak abad 21.

"Perubahan iklim yang tak tanggung-tanggung mengancam akan menghapus puluhan tahun pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dengan susah payah di Asia Tenggara," kata Deloitte.

"Fondasi kemakmuran kawasan ini adalah sumber daya alam dan manusia yang berada dalam risiko," sebutnya.

Perubahan iklim akan menyebabkan gangguan besar karena hilangnya mata pencaharian akibat naiknya permukaan laut dan bencana alam.

Adapun industri yang akan kehilangan triliunan dollar AS pada 2070 adalah industri jasa sembilan triliun dollar AS, sektor manufaktur tujuh triliun dollar AS, ritel dan pariwisata secara kolektif bisa kehilangan lima triliun dollar AS.

Selain itu, konstruksi, pertambangan dan gas, sektor-sektor ini menyumbang 83 persen dari output ekonomi kawasan.

"Dampak dari perubahan iklim akan dirasakan di seluruh negara dan industri Asia Tenggara, dengan beberapa negara menanggung beban ekonomi lebih dari yang lain," kata Deloitte.

Waktu Habis

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan untuk menjaga pemanasan global mendekati 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri "akan sulit dijangkau" dalam dua dekade ke depan, kecuali jika tindakan segera diambil untuk mengurangi emisi karbon.

"Ada urgensi bagi negara dan pemerintah untuk bertindak cepat dalam 10 tahun ke depan, untuk menghindari kerusakan permanen akibat perubahan iklim," kata CEO Deloitte Asia Tenggara, Philip Yuen.

"Asia Tenggara harus melihat upaya pemanasan global sebagai biaya opsional, sebagai investasi dalam transformasi yang didorong oleh iklim menuju masa depan yang lebih baik," kata Deloitte.

"Jumlah yang dibelanjakan negara untuk dekarbonisasi akan hampir segera diimbangi dengan pengembalian positif dalam modal dan teknologi," bunyi laporan itu.

"Kita memiliki kesempatan untuk menciptakan mesin baru untuk kemakmuran ekonomi yang berkelanjutan sementara pada saat yang sama mencegah konsekuensi yang lebih buruk dari dunia yang memanas," tambahnya.

Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Amien Widodo, mengatakan negara-negara Asia Tenggara harus memperhatikan peringatan Deloitte atas skala potensi bencana yang diakibatkan perubahan iklim.

"Kerugiannya bisa besar sekali. Sebab, karakter negara-negara di kawasan ini adalah jumlah penduduknya besar, dan mereka banyak tinggal di kota-kota pesisir," kata Amien.

Kalau terlambat bertindak, bencana akibat perubahan iklim bisa menimbulkan badai, panas (kemarau) dan hujan yang dahsyat, sehingga dampaknya bisa ke mana-mana.

"Hal yang mengerikan bisa mempengaruhi persediaan air dan ketahanan pangan, karena itu sangat bergantung dengan iklim. Belum lagi potensi kebakaran lahan jika kemarau panjang, lahan-lahan gambut kita bisa kena, sedangkan untuk memadamnya butuh air," katanya.

Supaya tidak terlambat mengantisipasi, seluruh dunia harus bersama-sama. Indonesia memang sudah bergabung dengan Kesepakatan Iklim Paris maka harus menyusul negara-negara lain dalam menjalankan upaya menuju zero carbon.

Baca Juga: