TOKYO - Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, pada Senin (23/5), meluncurkan kesepakatan perdagangan baru dengan 12 negara di Indo-Pasifik untuk memperkuat ekonomi negara-negara di kawasan itu.

Dalam keterangan pers usai mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri (PM) Jepang, Fumio Kishida, Biden mengakui ekonomi AS memiliki "masalah", tetapi tidak serumit tantangan yang dihadapi negara-negara lain di dunia.

Biden mengatakan kesepakatan perdagangan itu dirancang untuk menunjukkan dedikasi AS pada bidang ekonomi sekaligus mengatasi kebutuhan akan stabilitas dalam perdagangan setelah gangguan yang disebabkan oleh pandemi dan invasi Russia ke Ukraina.

Negara-negara yang bergabung dengan AS dalam pakta tersebut adalah Australia, Brunei, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Bersama dengan AS, mereka mewakili 40 persen dari PDB dunia.

Dalam pernyataan bersama, negara-negara tersebut mengatakan bahwa pakta itu akan membantu mereka secara kolektif "mempersiapkan ekonomi di masa depan" setelah dampak dari pandemi dan perang di Ukraina.

Biden dan Kishida bergabung saat acara peluncuran oleh Perdana Menteri India, Narendra Modi. Sementara perwakilan dari negara lain bergabung secara virtual melalui video. Modi berada di Tokyo untuk pertemuan Quad, pada Selasa, sebuah kelompok keamanan empat negara yang juga mencakup AS, Jepang, dan Australia.

Gedung Putih mengatakan kerangka kerja itu akan membantu Amerika Serikat (AS) dan ekonomi Asia bekerja lebih dekat dalam berbagai masalah, termasuk rantai pasokan, perdagangan digital, energi bersih, perlindungan pekerja, dan upaya antikorupsi. Rinciannya masih perlu dinegosiasikan di antara negara-negara anggota, sehingga sulit bagi pemerintah untuk mengatakan bagaimana perjanjian itu akan memenuhi janji membantu pekerja dan bisnis AS sambil memenuhi kebutuhan global.

Akses Pasar

Para kritikus mengatakan kerangka kerja tersebut memiliki kekurangan yang jelas, karena tidak menawarkan insentif kepada calon mitra dengan menurunkan tarif atau memberi penandatanganan akses yang lebih besar ke pasar AS.

Keterbatasan tersebut mungkin tidak menjadikan kerangka kerja AS sebagai alternatif yang menarik untuk Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), yang bergerak maju tanpa AS, setelah mantan Presiden Donald Trump mundur.

Tiongkok, yang menjadi mitra dagang terbesar bagi banyak negara di kawasan itu, juga ingin bergabung dengan TPP.

"Saya pikir banyak mitra akan melihat daftar itu dan berkata, 'Itu daftar masalah yang bagus. Saya senang bisa terlibat,'" kata Matthew Goodman, mantan direktur ekonomi internasional di Dewan Keamanan Nasional selama pemerintahan Presiden Barack Obama.

Namun, mereka mungkin juga bertanya, "Apakah kita akan mendapatkan manfaat nyata dari berpartisipasi dalam kerangka kerja ini?"

Sebagai tuan rumah, PM Kishida mengaku "sangat senang" menyambut Biden ke Tokyo dalam perjalanan Asia pertama kepresidenannya. Bersama dengan Biden, ia mendorong tanggapan keras terhadap Russia atas invasinya ke Ukraina, dengan mengatakan agresi itu "merusak fondasi tatanan global".

Biden, yang berada di tengah-tengah kunjungan lima hari ke Korea Selatan dan Jepang, menyebut aliansi AS-Jepang sebagai "landasan perdamaian dan kemakmuran di Indo-Pasifik" dan berterima kasih kepada Jepang atas "kepemimpinan yang kuat" dalam berdiri ke Russia.

Kishida menyambut pakta perdagangan Biden yang baru, tetapi mengatakan dia masih berharap mitranya itu akan mempertimbangkan untuk kembali ke pakta Trans-Pasifik yang ditarik oleh Trump.

"Kami menginginkan AS untuk kembali ke TPP," kata Kishida.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, yang diminta pendapatnya mengatakan ekonomi dunia saat ini menghadapi dua tantangan, yaitu pemulihan ekonomi yang tidak berjalan seimbang. Pemulihan yang lebih cepat di negara maju akan memicu ketidakstabilan nilai tukar di negara berkembang.

"Kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga di negara berkembang terpaksa dilakukan untuk menghambat capital outflow. Namun, investasi selanjutnya akan terdistorsi akibat kenaikan suku bunga tersebut," kata Suhartoko

Baca Juga: