Hubungan diplomatik antara Asean dan Uni Eropa masih belum banyak menyentuh sektor perlindungan hak asasi manusia (HAM).

Aniello Iannone, Universitas Diponegoro

Secara diplomatik, ASEAN dan EU telah mengembangkan hubungan yang kompleks dan signifikan secara historis, yang dimulai secara resmi pada tahun 1973 melalui perjanjian kerja sama dengan Komunitas Ekonomi Eropa.

Meskipun tujuan awalnya adalah untuk mendukung integrasi regional, hubungan politik antara kedua entitas ini terutama berfokus pada aspek ekonomi, menekankan pada investasi dan pertukaran ekonomi. Hubungan diplomatik antara kedua blok ini masih belum banyak menyentuh sektor perlindungan hak asasi manusia (HAM). Padahal isu HAM menjadi penting di tengah gejolak global dan konflik antarkawasan.

ASEAN memang telah lama dikritik oleh banyak pengamat internasional atas pendekatannya terhadap HAM. Terutama mengenai peran Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR) dalam kapasitasnya melindungi HAM di kawasan. ASEAN telah gagal menyelesaikan rentetan masalah pelanggaran HAM bagi negara-negara anggotanya, termasuk terkait krisis kemanusiaan di Myanmar.

Dibandingkan ASEAN, blok Uni Eropa (EU) secara umum dikenal lebih maju dalam hal perlindungan HAM. Ini karena secara prinsip, kedua blok menekankan prinsip yang berbeda. ASEAN memegang prinsip kedaulatan dan nonintervensi dalam masalah-masalah internal, sementara UE selalu menganggap hak asasi manusia dan demokrasi sebagai pilar utama proses integrasinya.

Artinya, kerja sama antara ASEAN dan Uni Eropa dalam mempromosikan HAM dan demokrasi menghadirkan tantangan sekaligus peluang. Kedua blok dapat menciptakan platform untuk dialog dan pertukaran praktik terbaik, yang berpotensi membawa perbaikan bertahap dalam HAM dan tata kelola demokratis baik di Asia Tenggara maupun Eropa.

ASEAN dan prinsip nonintervensi

Secara struktural dan ideologis, ASEAN dan EU dapat dianggap hampir berlawanan. ASEAN, lahir di tahun 1967 selama Perang Dingin dan menjadi blok ketiga di antara kubu AS dan Uni Soviet kala itu. ASEAN menekankan kedaulatan nasional dan kemerdekaan. Negara anggota tidak boleh mencampuri masalah internal negara anggota lain. Ini biasa disebut prinsip nonintervensi.

ASEAN juga mengembangkan konsep tatanan regional berdasarkan "ASEAN Way." Pendekatan ini mempromosikan perlindungan identitas nasional dan regional serta didasarkan pada norma-norma yang mencerminkan identitas kolektif ini.

Namun, prinsip nonintervensi ASEAN tersebut justru telah menghambat tujuan organisasi itu untuk mengintegrasikan kawasan Asia Tenggara dan memberantas pelanggaran HAM, serta berpotensi mengganggu penyelesaian konflik politik-keamanan yang diakibatkan oleh memanasnya hubungan antarnegara anggota.

Konflik Rohingnya di Myanmar, contohnya, sulit diselesaikan meskipun telah berdampak ke negara-negara ASEAN lain-karena banyak orang Rohingnya yang mengungsi ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia. ASEAN sulit mendorong Junta militer Myanmar ke meja perundingan karena adanya prinsip nonintervensi.

Kegagalan ini telah menimbulkan keraguan akan kemampuan ASEAN untuk membuat kemajuan perdamaian yang nyata dalam menyelesaikan pelanggaran HAM.

Kasus-kasus lain dapat ditemukan di Thailand, terutama selama periode pemerintahan Shinawatra dan pembantaian Tak Bai. Selama masa pemerintahan Shinawatra, Thailand cenderung menerima prinsip noninterferensi dan mengubah gagasan untuk mencegah adanya kompromi terhadap kedaulatan nasional. Keadaan serupa terjadi selama kudeta di Thailand dan penindasan terhadap minoritas Muslim di Myanmar pada tahun 2007. Aturan noninterferensi menghambat dan mencegah intervensi oleh ASEAN dan PBB dalam konflik Myanmar sehingga menunda pencarian solusi.

Terlebih lagi, mengingat situasi terkini beberapa negara di ASEAN yang semakin mengarah ke pemerintahan otoritarianisme dan autokrasi. Contohnya, Indonesia yang akan dipimpin oleh Prabowo Subianto, seorang mantan jenderal dengan sejarah kontroversial terkait pelanggaran HAM, menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya perang militer dalam politik Indonesia.

Di Filipina, politik dinasti tetap identik dengan keluarga seperti Marcos dan Duterte memegang kekuasaan, yang menimbulkan tantangan bagi demokrasi dan keadilan sosial.

Otoritarianisme di Myanmar semakin memburuk sejak kudeta militer pada tahun 2021, yang telah menyebabkan penindasan brutal terhadap oposisi dan pelanggaran berat hak asasi manusia, termasuk penangkapan massal dan kekerasan terhadap warga sipil.

Masalah politik di Thailand juga kompleks, dengan konflik berkelanjutan antara pemerintah dan gerakan pro-demokrasi. Demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi monarki dan perubahan politik telah dihadapi dengan tindakan keras oleh pemerintah, memperlihatkan ketegangan yang terus berlanjut.

Belum lagi tekanan Cina terhadap ASEAN terkait masalah Taiwan dan sengketa Laut Cina Selatan. Isu-isu tersebut dapat semakin mengikis multilateralisme antara EU dan ASEAN, mengingat tekanan geopolitik dan ekonomi yang dapat memecah belah kesatuan dan kerja sama regional.

Uni Eropa dan standar ganda

Berbeda dengan ASEAN, EU didirikan dan dibangun pada periode pasca-Perang Dunia II (WW2) dan menitikberatkan integrasi sebagai prinsip utamanya. HAM dan demokrasi menjadi pilar utama proses integrasi tersebut.

Jika ASEAN menginterpretasikan HAM secara lebih kontekstual dan regional, yakni tidak campur tangan dan menghormati kedaulatan nasional, EU memandang HAM secara universal. Kemungkinan besar ini terkait dengan sejarah dan pengalaman negara-negara yang pernah dijajah oleh negara Barat.

Namun, kini prinsip universalitas HAM dan demokrasi EU tengah dipertanyakan akibat sikap mayoritas negara EU terhadap konflik Israel-Hamas di Jalur Gaza, Palestina. EU dianggap tidak menjalankan kebijakan luar negeri yang berbasis HAM dan menerapkan "standar ganda" dalam konflik yang per hari ini telah menewaskan korban sipil mencapai lebih dari 39.000 jiwa.

Laporan organisasi Amnesty International menyebutkan bahwa sejumlah pemimpin negara Eropa tidak menghormati prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam PBB dan hukum hak asasi manusia internasional. EU disebut gagal dalam menegakkan komitmen absolut terhadap universalitas dan kemanusiaan.

Dalam hal demokrasi, Uni Eropa juga menghadapi tantangan signifikan, terutama karena penguatan nasionalisme populis sayap kanan yang mendorong kedaulatan nasional, identitas budaya, serta retorika antiimigrasi dan antiglobalisasi.

Gerakan tersebut mengkritik lembaga-lembaga supranasional seperti UE, menuduh mereka mengikis kedaulatan nasional. Negara-negara seperti Hungaria, Polandia, Italia, dan Prancis telah melihat peningkatan kebijakan proteksionis dan peraturan otoriter terkait kebebasan berekspresi.

Di Hungaria, pemerintahan Orbán membatasi kebebasan pers; di Polandia, partai PiS melemahkan independensi peradilan; di Italia, Partai Lega mempromosikan retorika nasionalis yang kuat; sementara di Prancis, Rassemblement National secara terbuka mengkritik UE dan imigrasi. Tren ini merupakan ancaman bagi nilai-nilai demokrasi fundamental UE.

Saling melengkapi

Perbedaan signifikan dalam interpretasi dan implementasi HAM dan demokrasi kedua blok ini menimbulkan tantangan. Padahal, hubungan baik keduanya penting guna menjaga stabilitas dan kelanjutan multilateralisme antara kedua kawasan.

Selain bekerja sama di bidang ekonomi, ASEAN dan EU juga perlu menunjukkan komitmen untuk bekerja sama dalam bidang politik, keamanan, bahkan HAM, terlepas adanya perbedaan politik dan ideologis yang mendasar. Perbedaan ini justru bisa menjadi referensi dan evaluasi kebijakan masing-masing kubu terkait, misalnya kepentingan bersama dalam keamanan negara.The Conversation

Aniello Iannone, Indonesianists | Researcher Kajian Kawasan dan Politik Internasional di Lingkar Kajian Kolaboratif (LKK) | Lecturer, Universitas Diponegoro

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga: