Kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan keberadaan 'Manusia Silver'. Orang-orang dengan kulit berwarna perak di sekujur tubuhnya sering dijumpai di sudut-sudut jalan Ibu Kota. Sosok manusia perak tersebut biasanya anak-anak di bawah umur, tapi tak sedikit juga yang sudah berusia paruh baya.

Namun siapa sangka, banyak aksi manusia perak yang semakin hari semakin keluar dari tujuan awalnya, yakni menggalang dana. Dengan masih berdalih amal, tak sedikit dari manusia perak yang justru mengambil kesempatan untuk mengais rezeki, dengan kata lain meminta-minta.

Pun demikian, ada pula sebagian yang masih menjunjung tinggi solidaritas, meski mengais rezeki dengan menjadi manusia perak. Salah satunya Saiful Tobing, pria asal Riau yang menjadikan manusia perak sebagai mata pencaharian sekaligus untuk membantu rekan yang membutuhkan.

Tentu saja kehadiran manusia perak atau orang yang tubuhnya berwarna perak sering dijumpai di sudut-sudut lampu merah. Mereka biasanya meminta uang kepada pengendara mobil atau motor yang melalui kawasan tersebut. Dicap sebagai profesi yang negatif, padahal awal mulanya manusia perak dulu dikasihani orang.

Manusia silver awalnya muncul karena menarik perhatian pengguna jalan. Mereka rela mengorbankan bagian tubuhnya untuk meminta ujung rambut hingga ujung kaki untuk uang dalam proses penggalangan dana. Biasanya mereka membawa kardus dengan tulisan penggalanan dana bencana misalnya, membuat pengguna jalan memberikan uang.

Tapi makin lama manusia perak mencari dana bukan untuk aksi sosial melainkan untuk kepentingan pribadi. Hal ini yang membuat orang menjadi malas untuk memberikan uang kepada mereka. Jumlah manusia silver pun semakin banyak, mulai dari anak-anak, remaja hingga orang dewasa.

Sementara, pria 34 tahun itu tak menyangka dirinya akan melakoni profesi manusia perak. Ia mengaku merasa tertarik setelah melihat aksi para manusia perak di sejumlah wilayah.

"Awalnya kita ngeliat dari daerah-daerah Depok. Kita liat di sini belum ada, kita masih menunggu gitu. Baru setelah itu jadi manusia perak," ujar anak kedua dari tiga bersaudara itu.

Ketika pertama kali menjadi manusia perak, Saiful mengaku merasa kurang nyaman. Namun seiring waktu, ia terbiasa dibaluri oleh cat.

"Kalau masalah (cat) enggak amannya sih, enggak mungkin kita pakai ya. Cuma kan kita ada gimana biar bisa aman gitu. Dengan penambahan minyak zaitun doang sih. Catnya dapat dari toko, dari informasi rekan-rekan juga," tulisnya.

Saiful bersama rekannya biasa beroperasi di perkampungan dan di jalan-jalan besar. Hampir seluruh wilayah Tambun sudah jelajahi, meski tak semuanya memberikan respons positif.

"Kadang kita di Bekasi Timur, ya semua kita puterin sih. Kalau berapa banyak sih masalahnya, komunitasnya juga banyak sih dari Bekasi, Jakarta," akunya.

Jam operasional Saiful sehari-hari dimulai sejak pukul 18.00-22.00 WIB. Dalam rentang waktu tersebut, ia bisa mengumpulkan rupiah yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari, atau sekadar membantu rekan-rekannya yang tertimpa musibah.

"Ya kalau seharinya enggak tentu sih, karena kan melihat kondisi kendaraan yang lewat. Kalau memang sepi, ya sepi. Sekitar Rp80-100 ribu," tulisnya.

Meski pernah beberapa kali terjaring razia Satpol PP, namun Saiful masih enggan berganti profesi dan tetap memilih menjadi manusia perak. Ia hanya bisa berharap suatu hari kehidupannya akan membaik, meski tak lagi beraksi sebagai manusia perak.

"Sebenarnya sih ada keinginan berganti profesi, cuma mungkin rezeki kita masih di sini, jadi manusia perak. Mungkin tersedia untuk bisa lebih bagus," tambahnya.

Baca Juga: