AS telah mengusul­kan agar akses aliran dana junta yang berkuasa di Myanmar diba­tasi. usulan itu diutarakan sebagai strategi baru bagi mengatasi krisis di Myanmar.

SINGAPURA - Penasihat di Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Derek Chollet, pada Kamis (21/10) mengatakan bahwa AS telah berdialog dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/Asean) dan Singapura terkait strategi baru bagi mengatasi krisis di Myanmar.

Dalam dialog itu, AS mengusulkan agar ada langkah untuk membatasi akses rezim militer Myanmar ke aliran dana sebagai bagian dari upaya menekan pimpinan junta yang telah dilarang hadir dalam pertemuan puncak regional mendatang.

"Keputusan Asean pekan lalu untuk tidak mengundang pemimpin junta Min Aung Hlaing ke KTT Asean dan kemudian diikuti dengan dibebaskannya ribuan tahanan oleh militer, menunjukkan betapa efektifnya tekanan internasional," kata Chollet dalam konferensi pers melalui sambungan telepon dari Jakarta.

Chollet berada di Jakarta, sebagai bagian terakhir dari rangkaian kunjungan tiga negara di Asia Tenggara bersama delegasi antarlembaga Amerika yang dipimpinnya.

"Di setiap negara, kami menegaskan kembali dukungan kami untuk rakyat Myanmar dan aspirasi mereka untuk demokrasi," kata Chollet. "Kami telah menggarisbawahi bahwa masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk menekan rezim militer untuk menghentikan kekerasan dan menghormati kehendak rakyat. Ini adalah titik kritis dalam krisis," imbuh dia.

Saat mengunjungi Singapura, lewat cuitannya di media sosial, Chollet mengatakan dirinya telah mengadakan pertemuan yang produktif dengan pejabat Otoritas Moneter Singapura. "Kami membahas cara untuk membatasi akses rezim militer Myanmar ke aset keuangan luar negeri," kata dia.

Menurut laporan The Myanmar Times pada 2019, Singapura telah menyalip Tiongkok sebagai negara investor terbesar di Myanmar. "Dari Oktober 2018 hingga Februari 2019, Singapura menginvestasikan 20,6 miliar dollar AS di sana," menurut lembaga pemerintah bernama Enterprise Singapore.

Sebelumnya AS bersama dengan Inggris dan Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi pada sejumlah pejabat militer Myanmar dan perusahaan milik negara tersebut, termasuk yang berurusan dengan bisnis kayu dan permata yang menguntungkan. Bisnis kayu dan permata selama ini dianggap sebagai sumber aliran pendapatan bagi pihak militer Myanmar.

Tetapi para aktivis menyatakan sanksi itu belum cukup karena tidak mencakup sanksi bagi perusahaan minyak dan gas AS dan Prancis yang beroperasi di Myanmar, yang memungkinkan militer mempertahankan sumber pendapatan mata uang asing terbesarnya.

Desakan Malaysia

Sementara itu Menteri Luar Negeri Malaysia, Saifuddin Abdullah, pada Kamis mengatakan bahwa untuk mengatasi krisis di Myanmar, Asean harus memikirkan kembali prinsip yang dianutnya selama puluhan tahun untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara-negara anggotanya.

Pernyataan Menlu Saifuddin itu dilontarkan setelah Asean pekan lalu membuat keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu tidak mengundang pemimpin negara anggota, dalam hal ini junta militer Myanmar ke pertemuan puncak yang akan datang denganalasannya bahwa junta tidak menunjukkan kemajuan dalam rencana perdamaian yang disepakati dengan Asean pada April di Jakarta.

"Asean harus mengkaji ulang kebijakan non-interferensi mengingat kondisi yang memburuk di Myanmar saat ini," ucap Menlu Saifuddin.

Lebih lanjut Menlu Saifuddin mengatakan bahwa prinsip non-interferensi telah berkontribusi pada ketidakmampuan Asean untuk membuat keputusan yang efektif dengan cepat. AFP/RFA/Ant/I-1

Baca Juga: