Seorang koordinator Gedung Putih untuk urusan Indo-Pasifik menyatakan bahwa Tiongkok menginginkan hubungan yang stabil dengan AS secepatnya setelah negara itu menghadapi tantangan dari dalam dan luar negeri.

WASHINGTON DC - Beijing dan Washington DC sama-sama memiliki keinginan yang tulus untuk menstabilkan hubungan dan membangun "pagar pembatas" setelah berbulan-bulan ketegangan meningkat. Hal itu diungkapkan oleh seorang pejabat tinggi pemerintahan Biden pada Kamis (8/12).

Berbicara kepada mantan pejabat pemerintahan Clinton, Joseph Nye, di Forum Keamanan Aspen di Washington DC, Amerika Serikat (AS), Kurt Campbell yang jadi koordinator Gedung Putih untuk urusan Indo-Pasifik di Dewan Keamanan Nasional, mengatakan bahwa pertemuan bulan lalu antara Presiden Tiongkok, Xi Jinping, dan Presiden AS, Joe Biden, telah menghasilkan keberhasilan yang nyata.

"Apa yang saya lihat adalah Tiongkok yang setidaknya dalam jangka pendek dan mungkin jangka menengah awal, juga tertarik untuk menstabilkan hubungan AS-Tiongkok," ungkap Campbell seraya menjelaskan bahwa alasan untuk ini adalah karena Tiongkok telah diguncang oleh serangkaian krisis dalam dan luar negeri dan tentangan di Asia terhadap diplomasinya yang asertif.

Di sisi lain, rasa frustasi terhadap protokol Covid-19 Tiongkok yang ketat memuncak dan berubah menjadi gelombang unjuk rasa akhir bulan lalu, sebagai unjuk ketidakpuasan publik terbesar yang terjadi sejak Presiden Xi Jinping mulai memerintah pada 2012.

Aturan itu berkontribusi pada perlambatan ekonomi, namun pelonggaran aturan juga menciptakan kekhawatiran baru akan perebakan virus yang bisa terjadi di luar kendali.

Campbell mengatakan, masalah-masalah itu, ditambah fakta bahwa Tiongkok bersikap memusuhi banyak negara tetangganya, berarti Tiongkok tertarik menjalin hubungan yang lebih dapat diprediksi dengan Washington DC dalam jangka pendek.

Campbell mencontohkan dengan terjadinya sengketa teritorial dengan Jepang dan India, persaingan ekonomi Tiongkok secara lebih luas, serta kegagalan diplomasiWolf Warrior(gaya diplomasi agresif yang diadopsi oleh diplomat Tiongkok di abad ke-21, red)sebagai salah satu masalah yang dihadapi Beijing.

Tren Positif

Pernyataan Campbell disampaikan setelah kedua pemimpin negara bertemu bulan lalu di KTT G20 di Bali dan dua hari setelah Washington DC mengumumkan rencana untuk meningkatkan kehadiran militernya secara bergiliran di wilayah-wilayah sekutu utama, Australia, di tengah kekhawatiran bersama mengenai Tiongkok.

"Saya rasa saya tidak perlu membahasnya, tetapi saya pikir semua itu menunjukkan kepada saya bahwa hal terakhir yang dibutuhkan Tiongkok saat ini adalah hubungan yang bermusuhan secara terbuka dengan AS," papar dia. "Mereka menginginkan tingkat prediktabilitas dan stabilitas, dan kami juga menginginkannya," imbuh Campbell.

Beberapa bulan terakhir ini telah menyaksikan banyak prediksi pecahnya konflik dari para pejabat AS, dengan tokoh-tokoh seperti kepala operasi angkatan laut dan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, membunyikan alarm tentang meningkatnya agresivitas Tiongkok, dan Pentagon melaporkan bahwa Beijing dengan cepat mengembangkan persenjataan nuklirnya.

Tetapi yang lain juga mengecilkan gagasan konflik seperti Mark Milley, ketua kepala staf gabungan, mengatakan bulan lalu bahwa prediksi invasi Tiongkok yang akan segera terjadi ke Taiwan terlalu berlebihan.

Campbell mengatakan kepada Forum Aspen pada Kamis bahwa invasi Russia ke Ukraina juga telah menyebabkan lebih banyak negara di dunia menyadari bahwa apa yang terjadi di Selat Taiwan, tidak terisolasi di sana dan akibatnya menyuarakan keprihatinan mereka dalam pembicaraan dengan Beijing.

"Itu umumnya merupakan tren positif, dan saya pikir itu adalah sesuatu yang harus kita dorong, dalam hal memperjelas kepada semua aktor tentang perlunya mengambil langkah-langkah yang hati-hati dan bijaksana dengan situasi ini," imbuh dia. RFA/I-1

Baca Juga: