AS menyatakan bahwa Tiongkok enggan untuk membahas senjata nuklir. Indikasi ini terlihat setelah Presiden Xi Jinping pada Kongres Partai Komunis lalu mengisyaratkan bahwa Tiongkok akan terus memperkuat senjata penggentar stra­tegisnya.

WASHINGTON DC - Seorang pejabat senior Amerika Serikat (AS) pada Selasa (1/11) menyatakan bahwa terlepas dari pelajaran sejarah tentang krisis misil Kuba 60 tahun yang lalu, Tiongkok tidak menunjukkan minat untuk membahas langkah-langkah untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh senjata nuklir.

Pernyataan itu dilontarkan oleh pejabat pejabat senior AS setelah pemimpin Tiongkok, Xi Jinping, pada Oktober lalu memberi isyarat bahwa Beijing akan memperkuat senjata penggentaran strategisnya.

Sebelumnya Pentagon melaporkan bahwa Tiongkok sedang mengalami ekspansi besar-besaran kekuatan nuklirnya dan terus berupaya agar bisa memiliki 1.000 hulu ledak nuklir pada 2030.

Beijing memang telah lama menolak pembicaraan pengendalian senjata dengan Washington DC, dengan alasan bahwa AS sudah memiliki persenjataan nuklir yang jauh lebih besar.

Alexandra Bell, wakil asisten menteri luar negeri untuk bidang pengendalian, verifikasi dan kepatuhan senjata, mengatakan kepada sebuah acara Dewan Atlantik bahwa meskipun ada upaya dari AS, namun antara Washington DC dan Beijing masih belum memulai keseriusan terkait masalah ini.

"Sebagai langkah pertama, kami benar-benar ingin berbicara dengan mereka tentang doktrin satu sama lain, tentang komunikasi krisis, manajemen krisis," ucap Bell seraya menegaskan bahwa Washington DC telah melakukan pembicaraan seperti itu dengan Russia selama beberapa dekade.

"Kami belum berada di momentum itu dengan Beijing. Jadi, ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk memulai pembicaraan, mungkin sebuah perundingan bilateral," imbuh dia.

Dalam pernyataannya, Bell mengatakan bahwa AS saat ini tengah memperingati 60 tahun krisis misil Kuba. "Kita tidak perlu mengulanginya untuk mengetahui bahwa kita perlu berada di meja perundingan untuk melakukan dialog satu sama lain," kata Bell, mengacu pada peristiwa pada 1962 ketika AS dan Uni Soviet mendekati perang nuklir atas kehadiran misil senjata nuklir Soviet di Kuba.

Sementara itu Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, mengatakan bahwa pada 2021 setelah berlangsung panggilan telepon antara Presiden Xi dan Presiden Joe Biden, keduanya sepakat untuk mempertimbangkan bagi mulai melanjutkan diskusi tentang stabilitas strategis.

Akan tetapi Xi selama berlangsungnya Kongres Partai Komunis Tiongkok pada Oktober lalu memberi isyarat bahwa Tiongkok akan memperkuat senjata penggentar strategisnya, sebuah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan persenjataan nuklir.

Sementara itu Richard Johnson, wakil asisten menteri pertahanan AS untuk kebijakan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal, mengatakan bahwa AS ingin terlebih dahulu memulai dialog dengan Tiongkok terkait hal-hal yang lebih mendasar daripada membahas soal jumlah hulu ledak nuklir.

"Jika itu argumen yang diberikan Beijing, kami tidak meminta untuk berdiskusi tentang angka. Kami mengatakan, mari kita bicara tentang menempatkan beberapa pagar pembatas ke dalam hubungan kedua negara sehingga nantinya kita tidak menghadapi krisis yang tidak perlu," kata Johnson.

Upayakan Pertemuan

Sementara itu Gedung Putih pada Selasa (1/11) menyatakan bahwa para pejabat AS dan Tiongkok tengah berupaya untuk mengatur pertemuan tatap muka antara Biden dan Xi pada KTT G20 di Bali akhir bulan ini.

Juru bicara keamanan nasional AS, John Kirby, mengatakan kepada wartawan bahwa para stafnya sedang terus berupaya untuk mengatur kemungkinan pertemuan itu. "Para staf kami terus berupaya agar pertemuan (Biden dan Xi) bisa terwujud," kata Kirby.ST/I-1

Baca Juga: