WASHINGTON DC - Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) memerintahkan seluruh diplomat yang tidak memiliki tugas esensial untuk meninggalkan Myanmar. Demikian petikan pernyataan yang dirilis pada Selasa (30/3).

Perintah ini disampaikan di tengah penumpasan demonstran yang telah menewaskan ratusan orang sejak kudeta militer 1 Februari lalu. Demonstrasi damai yang terjadi setiap hari di seluruh Myanmar menuntut pemulihan pemerintah terpilih dan pembebasan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi telah dihadapi aparat dengan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam.

"Militer Birma telah menahan dan menggulingkan pejabat-pejabat pemerintah terpilih. Telah terjadi protes dan demonstrasi menentang kepemimpinan militer, dan hal ini diperkirakan akan terus berlanjut," demikian petikan lain dari pernyataan Kementerian Luar Negeri AS itu seperti dilansir VoA, Rabu (31/3).

Pada pertengahan Februari lalu, Kementerian Luar Negeri AS telah menyetujui pulangnya staf non-darurat dan keluarga mereka secara sukarela dan menambahkan kementerian itu telah memperbarui status itu menjadi perintah untuk meninggalkan Myanmar.

Jumlah warga sipil yang tewas akibat penumpasan militer kini melampaui 520 orang, sementara semakin banyak negara yang mengecam kampanye militer pasca kudeta 1 Februari itu.

"Kementerian Luar Negeri AS membuat keputusan untuk menyetujui kembalinya para staf dari Myanmar karena keselamatan dan keamanan personel pemerintah Amerika dan keluarga mereka, serta warga Amerika adalah prioritas tertinggi kementerian ini," ujar seorang juru bicara. "Status perintah ini akan dikaji kembali secara bertahap dalam 30 hari," tambah dia.

AS, Inggris dan Uni Eropa telah memberlakukan sanksi sebagai tanggapan terhadap kudeta dan penumpasan yang dilakukan aparat Myanmar, tetapi sejauh ini tekanan diplomatik tidak berhasil membujuk para jendral. VoA/I-1

Baca Juga: